Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM Sebut SLHS SPPG Jadi Kebijakan Reaktif, Hanya Aturan di Atas Kertas
Program MBG mencerminkan kebijakan trade off yang berisiko antara kecepatan pelaksanaan program dan jaminan keamanan pangan.
Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Yoseph Hary W
Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pemerintah kini mewajibkan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Kebijakan ini diambil pascaribuan kasus keracunan di berbagai daerah akibat Makan Bergizi Gratis (MBG).
Sebelumnya, Kepala Staf Presiden, Muhammad Qodari menyebut dari 8.583 SPPG, hanya 34 yang memiliki SLHS.
Saat ini, pemerintah tengah mengebut proses pemenuhan SLHS bagi SPPG.
Menurut Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Sri Raharjo, program MBG mencerminkan kebijakan trade off yang berisiko antara kecepatan pelaksanaan program dan jaminan keamanan pangan.
Program MBG hanya mengejar target sasaran maupun pembangunan SPPG. Syarat SLHS di awal program MBG akan memperlambat laju pembangunan SPPG secara signifikan.
Sehingga prosedur birokrasi SLHS mungkin sengaja diringankan, atau dijadikan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi setelah beroperasi, bukan sebagai izin pra operasi.
"Memaksa semua SPPG untuk bersertifikat sejak awal akan membuat program mandek, karena ketidakmampuan melakukan inspeksi massal dalam waktu singkat. Alih-alih, mereka memilih untuk mengoperasikan SPPG terlebih dahulu dan baru kemudian melakukan penertiban secara bertahap," katanya, Senin (29/09/2025).
Ia melanjutkan keracunan massal akibat MBG menjadi bukti kegagalan sistem pengawasan yang longgar sebelumnya. Pemerintah pun terpaksa berbelok arah dengan mewajibkan SLHS bagi SPPG. Hal ini bertujuan untuk mencegah keracunan terjadi lagi serta memulihkan kepercayaan publik.
"Perubahan kebijakan ini bersifat reaktif, bukan proaktif. Pemerintah baru bertindak tegas setelah terjadi bencana, bukan karena antisipasi yang matang," lanjutnya.
Selama ini, SPPG terbiasa beroperasi tanpa SLHS. Perubahan kewajiban yang mendadak ini akan dianggap sebagai beban tambahan, bukan sebagai standar operasional.
Di sisi lain, proses mendapatkan SLHS memerlukan biaya untuk penyesuaian fasilitas, pelatihan, dan biaya sertifikasi itu sendiri.
Banyak operator SPPG, yang mungkin skala usahanya kecil, akan enggan atau tidak mampu menanggung biaya tanpa insentif atau bantuan pemerintah.
Oleh sebab itu, sulit memaksa daerah untuk patuh. Terlebih tingkat ketidakpatuhan secara nasional sangat tinggi. Terbukti hanya 0,5 persen saja SPPG yang memiliki SLHS. Ini juga membuktikan ketiadaan SLHS dianggap normal.
"Tanpa strategi enforcement yang masif, pendampingan, dan kemungkinan insentif, kewajiban baru ini berisiko tinggi hanya menjadi aturan di atas kertas (paper law) di banyak daerah," terangnya.
Sertifikasi yang tergesa-gesa juga akan menimbulkan dampak negatif, seperti sertifikasi karbitan, penurunan kualitas audit, tidak berkelanjutan, serta menciptakan rasa keamanan palsu.
Ia memandang sertifikasi yang terburu-buru akan mengorbankan esensi dari SLHS itu sendiri, yaitu menjamin kompetensi yang berkelanjutan. Hasilnya adalah ilusi keamanan yang tidak jauh berbeda dengan situasi sebelum ada sertifikasi.
SLHS akan efektif jika standar yang digunakan dalam SLHS bersifat komprehensif, mencakup fasilitas, SDM, dan prosedur. Selain itu, dilakukan oleh pengawas yang berkompeten, tidak terburu-buru, dan independen.
Harus ada audit atau inspeksi berkala untuk memastikan standar tetap terjaga. Termasuk memberikan sanksi tegas kepada SPPG yang melanggar hingga pencabutan sertifikat.
Sebaliknya, SLHS tidak akan efektif jika dilakukan sebagai formalitas, tidak diiringi dengan peningkatan kapasitas tenaga pengawas, serta tidak ada mekanisme pelaporan dan penanganan keluhan dari sekolah.
"SLHS adalah alat yang sangat efektif jika dan hanya jika dilaksanakan dengan benar. Efektivitasnya tidak terletak pada dokumen sertifikatnya, tetapi pada proses dan sistem yang dijaga di belakangnya," ujarnya.
Ia menambahkan SLHS dirancang untuk meminimalisasi risiko dari hulu dengan memastikan makanan diproduksi dalam lingkungan yang terkendali. Jika dilaksanakan dengan serius, akan jauh lebih efektif dalam mengurangi risiko keracunan makanan di sekolah.
"Kunci utamanya terletak pada integritas pelaksanaan dan keberlanjutan sistem pengawasannya. Meskipun tidak mungkin menghilangkan sama sekali risiko keracunan makanan di sekolah," pungkasnya. (maw)
keracunan MBG
Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS)
Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG)
Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM
Operasional Dapur MBG Ditutup, SPPG Semin Gunungkidul Diminta Lengkapi Sertifikat Halal dan SLHS |
![]() |
---|
Buntut Dugaan Kasus Keracunan MBG, Operasional SPPG Semin di Gunungkidul Ditutup |
![]() |
---|
Ketahuan! Mobil MBG Masuk Pasar Jualan Buah, Kepala Regional MBG Kalbar Cari Pelakunya |
![]() |
---|
Hasil Lab Kasus Keracunan MBG MTsN Wonosari, BLKK Yogyakarta Temukan 5 Jenis Bakteri |
![]() |
---|
Bunyi Panci Warnai Aksi Kenduri Suara Ibu Indonesia di Bundaran UGM |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.