Pusat Studi Pangan dan Gizi UGM Sebut SLHS SPPG Jadi Kebijakan Reaktif, Hanya Aturan di Atas Kertas

Program MBG mencerminkan kebijakan trade off yang berisiko antara kecepatan pelaksanaan program dan jaminan keamanan pangan. 

Tribun Jogja/ Ahmad Syarifudin
SERTIFIKAT LAIK: Foto dok ilustrasi. Siswa SD Negeri Sinduadi Timur Sleman menunjukkan menu makan bergizi gratis, Senin (13/1/2025). Pemerintah kini mewajibkan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). 

Sertifikasi yang tergesa-gesa juga akan menimbulkan dampak negatif, seperti sertifikasi karbitan, penurunan kualitas audit, tidak berkelanjutan, serta menciptakan rasa keamanan palsu.

Ia memandang sertifikasi yang terburu-buru akan mengorbankan esensi dari SLHS itu sendiri, yaitu menjamin kompetensi yang berkelanjutan. Hasilnya adalah ilusi keamanan yang tidak jauh berbeda dengan situasi sebelum ada sertifikasi.

SLHS akan efektif jika standar yang digunakan dalam SLHS bersifat komprehensif, mencakup fasilitas, SDM, dan prosedur. Selain itu, dilakukan oleh pengawas yang berkompeten, tidak terburu-buru, dan independen. 

Harus ada audit atau inspeksi berkala untuk memastikan standar tetap terjaga. Termasuk memberikan sanksi tegas kepada SPPG yang melanggar hingga pencabutan sertifikat.

Sebaliknya, SLHS tidak akan efektif jika dilakukan sebagai formalitas, tidak diiringi dengan peningkatan kapasitas tenaga pengawas, serta tidak ada mekanisme pelaporan dan penanganan keluhan dari sekolah.

"SLHS adalah alat yang sangat efektif jika dan hanya jika dilaksanakan dengan benar. Efektivitasnya tidak terletak pada dokumen sertifikatnya, tetapi pada proses dan sistem yang dijaga di belakangnya," ujarnya.

Ia menambahkan SLHS dirancang untuk meminimalisasi risiko dari hulu dengan memastikan makanan diproduksi dalam lingkungan yang terkendali. Jika dilaksanakan dengan serius, akan jauh lebih efektif dalam mengurangi risiko keracunan makanan di sekolah.

"Kunci utamanya terletak pada integritas pelaksanaan dan keberlanjutan sistem pengawasannya. Meskipun tidak mungkin menghilangkan sama sekali risiko keracunan makanan di sekolah," pungkasnya. (maw) 

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved