Arah Baru Pertahanan Indonesia: Dari Airbus, Blank Spot hingga Telepon Prabowo
Strategi defensif aktif Indonesia di bawah Prabowo Subianto menata ulang kekuatan militer untuk menjaga kedaulatan ekonomi, menutup blank spot wilayah
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Iwan Al Khasni
Pagi itu, di dalam Airbus A400M yang melaju menuju Lanud Iskandar Muda di Aceh, saya mulai memahami: Indonesia sedang membangun bukan hanya kekuatan, tetapi juga kesadaran akan ruang yang selama ini gelap. Modernisasi militer bukan sekadar persiapan perang, melainkan upaya untuk menjaga rumah besar bernama Indonesia.
• Hasil Perhitungan Terbaru, Nilai Kerugian Kasus Dugaan Korupsi Timah Tembus Rp 300 T
Strategi Selimut Udara: Menjaga Langit, Menjaga Negeri
Tujuh jam bersama Sjafrie Sjamsoeddin membuka mata saya tentang arah baru Indonesia. Di balik senyum tenangnya, tersimpan keyakinan bahwa negeri ini sedang bergerak menuju sesuatu yang besar. Bukan sekadar modernisasi militer, melainkan transformasi menyeluruh atas cara kita menjaga kedaulatan baik teritorial maupun ekonomi.
Indonesia melihat dirinya sebagai bangsa besar, kaya, dan strategis. Namun, kekayaan itu selama ini banyak yang bocor, menguap lewat celah-celah tak terlihat. Blank spot, begitu istilah yang digunakan Sjafrie. Wilayah-wilayah yang tak terjangkau radar, tak terpantau patroli, menjadi jalur gelap bagi penyelundupan dan pelanggaran kedaulatan.
Strategi pertahanan baru telah dirumuskan dan kini tengah dijalankan. Potongan-potongan berita yang selama ini muncul—pembelian pesawat tempur, pembangunan kapal selam tanpa awak, pengembangan industri radar berbasis teknologi Tiongkok, hingga rencana membentuk 514 batalion di seluruh kabupaten dan kota—semua itu adalah bagian dari satu skema besar: strategi defensif aktif.
“Ini bukan strategi ofensif,” tegas Sjafrie. “Kita membangun kekuatan untuk bertahan, melindungi, menjaga. Tapi aktif, tidak pasif.” Artinya, TNI tidak lagi sekadar menjaga barak. Mereka harus bergerak, mengikuti dinamika ancaman, dan mengelolanya secara modern.
Lalu, untuk apa semua ini? Apakah untuk menggertak negara tetangga? Menurut Sjafrie, jawabannya tegas: tidak. Fokus utama strategi ini adalah menjaga kedaulatan ke dalam. “Kalau kita kuat secara militer, kita bisa menjaga kedaulatan ekonomi kita,” ujarnya.
Inilah inti dari filosofi “defence supporting economy” yang menjadi doktrin pertahanan era Prabowo. Pertahanan bukan hanya soal perang, tapi juga soal memastikan sumber daya bangsa tidak dirampas diam-diam. Tujuan akhirnya: kesejahteraan rakyat.
Dua program prioritas Prabowo menjadi sasaran utama: swasembada pangan dan energi. Di sektor energi, kebocoran sumber daya menjadi perhatian serius. Ambil contoh Bangka. Menurut Sjafrie, sejak 1998 hingga 2025, hanya 20 persen timah dari pulau itu yang bisa diselamatkan. Sisanya—sekitar 80 persen—diselundupkan ke luar negeri.
Wilayah laut Bangka adalah blank spot besar. Kapal-kapal penyedot pasir beroperasi bebas, memproses timah di tengah laut, lalu mengirimkannya ke Singapura atau Malaysia. “Bayangkan,” kata Sjafrie, “Singapura tercatat sebagai negara pengekspor nikel ketujuh terbesar di dunia. Padahal, mereka tidak punya sebiji pun nikel.”
Sejak September 2025, TNI mulai mengepung Bangka. Tujuannya jelas: menghentikan penyelundupan. Modernisasi kekuatan menjadi keharusan, karena para penyelundup pun semakin canggih. Nilainya tidak main-main. Jika 20 persen timah yang terselamatkan bernilai Rp1 triliun per tahun, bayangkan potensi yang bisa diraih jika 80 persen sisanya berhasil dicegah.
Hal serupa terjadi di Morowali, Sulawesi. Di sana, nikel diselundupkan lewat jalur udara, bahkan menggunakan pelabuhan udara tanpa imigrasi. Pesawat komersial dan jet khusus menjadi alat penyelundupan. Lubang gelap yang besar, dan TNI kini bersiap menutupnya.
Namun, bagaimana dengan langit Indonesia yang masih penuh blank spot? Sjafrie menyebut konsep “selimut udara” air blanket. “Wilayah kita seluas Eropa. Kita perlu kekuatan udara untuk melindunginya,” ujarnya.
Airbus A400M dan pesawat tempur yang telah dan akan datang adalah bagian dari strategi ini. Tak hanya itu, Indonesia juga tengah mengembangkan drone dalam negeri. Teknologinya sederhana, biayanya murah, sekitar 400 dolar AS per unit, namun bisa diproduksi massal dan efektif secara militer. “Seperti mainan anak-anak,” kata Sjafrie, “tapi bisa sangat berguna.”
Di laut, strategi serupa diterapkan. Untuk menjaga chokepoint seperti Selat Malaka, Indonesia membangun kapal selam tanpa awak (Unmanned Underwater Vehicle/UUV). PT PAL di Surabaya akan menjadi pusat produksinya mulai 2026. Kapal selam ini mampu menyelam hingga enam bulan dan kembali ke permukaan untuk mengisi ulang baterai. Semua celah strategis akan dijaga oleh armada tak kasat mata ini.
Selain Selat Malaka, ada Selat Sunda, Selat Makassar, Selat Lombok, dan Laut Maluku—semuanya penghubung vital antara Samudera Hindia dan Pasifik. Di titik-titik inilah, strategi selimut udara dan laut akan diuji.
| 7 Rekomendasi Film Indonesia yang Cocok Jadi Referensi Filmmaker Pemula |
|
|---|
| Generali Indonesia Berikan Perlindungan Bagi 11.500 Pelari Borobudur Marathon |
|
|---|
| BI DIY Imbau Merchant QRIS Tak Kenakan Tambahan Biaya pada Konsumen |
|
|---|
| Bobby/Melati Juara Indonesia International Challenge 2025 di Yogyakarta |
|
|---|
| Purwoharjo Kulon Progo Terima 13 TTG untuk Pangan, Air Bersih, dan Sampah |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jogja/foto/bank/originals/Arah-Baru-Pertahanan-Indonesia-Dari-Airbus-Blank-Spot-hingga-Telepon-Prabowo.jpg)