Kisah Inspiratif

Kisah Sri Ratna Saktimulya Menyusun Manuskrip Kuno Koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta

Bagi Sakti, naskah kuno tidak pernah berhenti berbicara. Ia hidup pada setiap lembar yang disentuh dan setiap generasi yang meneruskannya.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Iwan Al Khasni
Dok. Istimewa
Potret Sri Ratna Saktimulya bersama naskah-naskah kuno yang sedang dikajinya di Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman. 
Ringkasan Berita:
  • Kecintaan Sri Ratna Saktimulya terhadap manuskrip tertanak sejak kecil karena tumbuh di lingkungan Tamansiswa.
  • Potensi Sakti membuatnya dipercaya menyusun katalog naskah kuno Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman dan dikenal hingga mancanegara.

TRIBUNJOGJA.COM - Tumbuh bersama aroma kertas tua cerita sejarah leluhur mengantarkan Sri Ratna Saktimulya (65) menjadi salah satu sosok paling tekun yang merawat naskah kuno dan melestarikan kebudayaan Jawa hingga masa purna tugasnya.

Perempuan yang akrab dipanggil Sakti itu memang sudah lama aktif berkecimpung di dunia Sastra Jawa, khususnya bidang filologi dan kodikologi.

Ia pertama kali mendapat tawaran untuk membantu menyusun manuskrip saat masih menjadi asisten dosen di Program Studi Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada (UGM).

Timothy Behrend, pengajar dan peneliti manuskrip Jawa, merupakan sosok yang melihat potensi itu pada Sakti.

Ia meminta Sakti untuk ikut serta dalam penyusunan naskah-naskah atau manuskrip kuno koleksi Museum Sonobudoyo.

“Saat itu saya mendapat bimbingan dari dr. Timothy Behrend. Senang sekali karena jadi semakin tahu pernaskahan manuskrip Jawa itu bagaimana. Bagaimana cara mengungkap isinya, itu juga saya peroleh justru ketika membantu Timothy Behrend,” ungkap Sakti.

Buku Katalog Naskah-Naskah Perpustakaan Pura Pakualaman dan buku Naskah-Naskah Skriptorium Pakualaman karya Sri Ratna Saktimulya, Senin (17/11/2025).
Buku Katalog Naskah-Naskah Perpustakaan Pura Pakualaman dan buku Naskah-Naskah Skriptorium Pakualaman karya Sri Ratna Saktimulya, Senin (17/11/2025). (MG Shafira Puti Krisnintya)

Setelah pengalaman menyusun naskah-naskah manuskrip di Museum Sonobudoyo, Sakti kemudian mendapat kesempatan untuk bekerja di Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman.

Di sana, Sakti kembali diminta oleh Timothy dan beberapa peneliti asing lain untuk membuatkan katalog naskah-naskah koleksi perpustakaan.

Ia bercerita bagaimana keaktifannya berkunjung ke perpustakaan dan potensi diri yang telah dilihat oleh Timothy membuatnya diminta menjembatani ke pihak Paku Alam untuk melangsungkan penyusunan.

“Waktu itu Putra Mahkota dari Paku Alam (PA) ke-8 ya, PA ke-9 ngendika (berkata-red), ‘nek (kalau-red) mau bikin katalog, harus kamu. Kula pitados panjenengan (Saya percaya kamu-red).’ Nggih sendhika, kalau sudah dhawuh begitu ‘kan (Ya saya patuh, kalau sudah diperintah begitu ‘kan-red),” ujar Sakti.

Baca juga: Titik Terang Pengembalian Manuskrip Sri Sultan HB II, British Library Berikan Akses Terbuka

Buku katalog itu akhirnya menjadi karya pertama Sakti yang mendunia.

Adanya kerja sama dengan yayasan global yang mengelola distribusi naskah kuno memungkinkan buku katalog itu untuk dikirim dan disebarluaskan ke seluruh negara dan kota di dunia yang memiliki Fakultas Sastra di dalamnya.

Karya itu juga yang kemudian mengantarkan Sakti berkenalan dengan banyak peneliti lokal dan asing, seperti Annabel Teh Gallop dan Joss Wibisono. 

Ia juga berkesempatan diundang ke hampir seluruh penjuru negeri dan berbagai negara untuk berbicara persoalan manuskrip.

Saktimulya bersama Joss Wibisono
Sakti (kiri) bersama Joss Wibisono (kanan), jurnalis dan peneliti yang lama berkarir di Radio Belanda, saat Joss sedang menjadi dosen tamu Bahasa Belanda pada Departemen Sejarah, FIB UGM. (Dok. Istimewa)

Perjalanan Merawat Manuskrip

Sakti mengaku kecintaannya pada Sastra Jawa bermula dari masa kecilnya yang tinggal dan tumbuh besar di Kompleks Pendopo Agung Tamansiswa.

Bapak dari Sakti merupakan Kepala Perpustakaan dan Museum Dewantara Kirti Griya pada saat itu.

Rumah Sakti yang berada satu kompleks dengan perpustakaan dan museum menjadikan dua lokasi itu bagaikan halaman bermain bagi Sakti kecil.

Di dalam perpustakaan dan museum, terdapat banyak koleksi manuskrip dan buku-buku lawas peninggalan Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara.

Setiap hari Sakti dan saudari-saudarinya membantu membersihkan koleksi buku dan naskah, menyeka debu yang menempel di sekitar lemari.

Kebiasaan tersebut berujung membuat Sakti kecil penasaran akan isi buku dan naskah manuskrip yang ada. 

“Ketika membersihkan kok opo sih iki (kok ini apa sih-red), hanacaraka belum lancar saya, terus ingin (tahu), ‘ini apa sih, Pak, ceritanya tentang apa?’ Kemudian, ‘oh kuwi babad, oh kuwi panji’ (oh itu cerita babad, oh itu cerita panji-red), bapak yang menjelaskan. Nah itu ‘kan tertanam dalam benak saya,” katanya sambil tersenyum hangat.

Koleksi Naskah Perpustakaan MDKG
Beberapa koleksi naskah-naskah kuno di Perpustakaan Museum Dewantara Kirti Griya, Selasa (04/11/2025).

Selain itu, Sakti juga sering melihat kedua orang tuanya malam-malam duduk di depan naskah, lembur menyusun lembar-lembar lawas dengan telaten.

Ia menyaksikan betul bagaimana mereka mengalihaksarakan aksara Jawa ke huruf latin, hingga mengalihbahasakan bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. 

Proses itu menumbuhkan rasa ingin tahu dalam diri Sakti dan ketertarikan itu perlahan berkembang menjadi kecintaan.

Baca juga: Belajar Memahami Manusia Sambil Merawat Sejarah Bangsa Lewat Museum

Ketika tiba masa lulus SMA dan harus memilih jalur pendidikan, Sakti tidak ragu untuk melanjutkan studi ke Sastra Nusantara UGM, yang kini dikenal sebagai Sastra Jawa UGM. 

Selama menjalani kuliah S1 di UGM, Sakti sering berkunjung melihat-lihat koleksi manuskrip dan buku lawas di Perpustakaan dan Arsip UGM serta Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman, tempatnya kini bekerja. 

Ia mengaku selalu meluangkan waktu selepas kuliah setiap Senin dan Kamis untuk datang ke Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman.

“Ketika saya di sana, ruangan perpustakaannya itu masih sangat sederhana. Tumpukan-tumpukan buku belum terpelihara, bener-bener peteng (gelap-red) gitu ya. Tapi entah panggilan mungkin ya, saya selalu nyulaki seperti yang saya lakukan di rumah Tamansiswa, ngresiki buku (membersihkan buku-red), selalu kula nuwun dulu sama sik kagungan (selalu permisi dulu sama yang punya-red) yang kelihatan maupun yang tidak terlihat,” tutur Sakti.

Menerima Penghargaan Pustaka Paripalana
Sakti saat menerima Penghargaan Pustaka Paripalana dari Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) di Jakarta, Jumat (17/10/2025). (Dok. Istimewa)

Perjalanan Sakti di perpustakaan itu juga diawali dengan inisiatifnya saat itu untuk mencatat setiap bait awal dari koleksi manuskrip yang ada.

Inisiatif tersebut muncul dari pertanyaan yang sudah sering datang dari tamu yang berkunjung yaitu tentang keberadaan katalog koleksi naskah perpustakaan.

Tidak terbesit sedikitpun dalam benak Sakti bahwa di kemudian hari ia akan menjadi sosok yang dipercaya untuk menyusun dan membuat buku katalog naskah-naskah Perpustakaan Pura Pakualaman.

Buku katalog yang menjadi salah satu tonggak utama kiprah Sakti di bidang pernaskahan kuno.

Abadi Dalam Karya

Menjelang purna tugas pada September lalu, Sakti justru menuntaskan sejumlah proyek besar yang meninggalkan kesan mendalam di lubuk hatinya.

Selama puluhan tahun, ia telah mengabdikan diri sebagai dosen Program Studi Sastra Jawa UGM.

Sakti juga sempat dipercaya menjadi Kepala Program Studi (Kaprodi) Sastra Jawa dan Kepala Pusat Studi (Kapusdi) Kebudayaan UGM. 

Sembari menjalani sisa tugasnya sebagai Kapusdi dan dosen, Sakti mengajukan empat proposal pengabdian masyarakat lintas daerah yang ternyata kesemuanya berhasil disetujui.

Berangkatlah Sakti mengajak mahasiswanya mengabdi ke beberapa tempat meliputi Dusun Wotawati di Gunungkidul, Kepulauan Adonara di Nusa Tenggara, serta Kepulauan Seram dan Kepulauan Kei di Maluku.

Babad Wotawati Sastra Jawa UGM
Sakti beserta para mahasiswa Sastra Jawa dan warga dusun Wotawati berpose bersama saat program pengabdian masyarakat di Dusun Wotawati, Gunungkidul, Yogyakarta, Minggu (22/06/2025). (Instagram/pusdibud.ugm)

“Tapi, bukan Sastra Jawa yang saya kembangkan di sana. Hanya saya berdasarkan pola seperti ini, mengungkap budaya di daerah sana itu bagaimana,” ucap Sakti.

Di Wotawati misalnya, Sakti dan para mahasiswa mengajarkan kesenian yang ternyata sudah lama tidak dilestarikan disana.

Mereka juga bekerja sama dengan Pusat Studi Bencana untuk memberikan pemahaman akan penanganan bencana alam dan budaya yang pernah ada dengan output berupa buku Babad Wotawati.

Baca juga: Uniknya Dusun Wotawati di Gunungkidul, Hanya Disinari Matahari Selama 7 Jam

Selain itu, Sakti beserta para mahasiswanya di Sastra Jawa berhasil menerbitkan buku hasil karya akhir mahasiswa tiga angkatan yang bertajuk Sastra Menitra.

Menjelang masa UTS, ia menawarkan kepada mahasiswa apabila mereka bersedia membukukan karya hasil akhir dari mata kuliah mereka dan dibalas dengan sambutan meriah dari para mahasiswa.

“Ya sudah saya buatkan tim kreatif khusus, saya minta bantuan teman-teman Pusat Studi. Lalu saya minta mahasiswa tiap angkatan ada penanggung jawab, nanti untuk memudahkan komunikasi dengan tim kreatif. Mereka sambil mengerjakan diperiksakan ke saya. Saya bertugas ngecek, jadi editor. Waktu sudah keluar versi cetaknya, wah, mereka senang bukan main,” ungkapnya.

Buku
Buku "Sastra Manitra" karya mahasiswa Sastra Jawa UGM lintas angkatan dan katalog pertunjukkan sendratari berjudul "Adisari" yang dipentaskan sebagai penanda purna tugasnya Sakti, Senin (17/11/2025). (MG Shafira Puti Krisnintya)

Selain cerita tentang para mahasiswa yang sesekali menginap di rumah dalam proses pengerjaan buku, Sakti juga mengungkapkan rasa bangganya akan berhasil dibukukannya karya para mahasiswa di akhir masa tugasnya.

Dengan senyuman lebar di wajah, ia membolak-balik halaman buku dan menunjukkan karya indah mahasiswanya.

Beberapa karya yang terabadikan dalam buku Sastra Menitra di antaranya karya puisi atau geguritan yang berisi ungkapan terima kasih pada Sakti, karya tulis hasil liputan seputar kampus dan situasi politik negara, serta karya iluminasi rubrikasi, rerenggan, wedana gapura renggan, dan wedana renggan yang dibuat dengan penuh ketulusan.

Salah satu karya Iluminasi Wedana Renggan oleh mahasiswa Sastra Jawa UGM angkatan 2023 dalam buku
Salah satu karya Iluminasi Wedana Renggan oleh mahasiswa Sastra Jawa UGM angkatan 2023 dalam buku "Sastra Manitra", Senin (17/11/2025). (MG Shafira Puti Krisnintya)

Mahasiswa yang terlibat adalah mereka yang mengikuti mata kuliah yang diampu Sakti meliputi Bahasa Jawa Lisan Komunikatif, Teks Prosa Jawa Baru, Teks Puisi Jawa Baru, Filologi, Kodikologi, dan Bahasa Jawa Tulis Kreatif.

Semua karya merupakan karya asli dari mahasiswa Sastra Jawa UGM angkatan 2022, 2023, dan 2024.

Akhir masa tugas Sakti ditutup dengan pertunjukan sendratasik berjudul “Adisari” yang merupakan alih wahana dari naskah manuskrip skriptorium Pakualaman yang dikaji oleh Sakti.

“Naskah pertunjukannya saya garap sendiri, diambil langsung dari manuskrip kuno berjudul Babad Matawis,” ucapnya.

Pertunjukan yang menandakan masa purna tugas Sakti dikemas dalam bentuk drama tari berpadu dengan gelaran wayang yang diiringi lelagon, geguritan, macapat, dan gamelan.

Ceritanya sendiri mengangkat kisah perjalanan Putri Adisari, kekasih Panembahan Senapati, yang menjadi jembatan ditaklukkannya kerajaan Madiun oleh Mataram.

Babak II pada pertunjukan
Babak II saat tokoh Adisari tengah meneguhkan hatinya untuk berangkat ke Madiun pada pertunjukan "Adisari" karya Sakti di Auditorium Gedung Poerbatjaraka, Jumat (19/09/2025). (Instagram/paksiraras)

Bagi Sakti, naskah kuno tidak pernah berhenti berbicara.

Ia hidup pada setiap lembar yang disentuh, setiap makna yang diungkap, dan setiap generasi yang meneruskannya. 

Purna tugas baginya bukan garis akhir, melainkan jeda untuk menata ulang cara mengabdi.

Tak lagi mengajar di kelas, Sakti melanjutkan amanah sebagai Kepala Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman dan meneruskan semangatnya menghidupkan cerita leluhur dari manuskrip kuno. 

Apa yang dulu ia temukan di lembaran lawas di masa kecilnya kini menjelma menjadi bekal bagi banyak mata, telinga, dan hati yang ingin melestarikan warisan budaya Nusantara.

(MG Shafira Puti Krisnintya)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved