Izin Terhambat Kajian BBWSSO, Penambang Progo Minta Tetap Boleh Pakai Pompa Mekanik

Penambang Sungai Progo meminta Pemda DIY mempercepat proses perizinan dan rekomendasi penggunaan pompa mekanik

TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
AUDIENSI - Puluhan penambang pasir yang tergabung dalam Perkumpulan Penambang Progo Sejahtera mendengarkan penjelasan Sekda DIY Ni Made Dwipanti Indrayanti saat audiensi di Kantor Gubernur DIY, Jalan Malioboro, Yogyakarta, Rabu (12/11/2025). Pertemuan membahas percepatan perizinan penambangan rakyat dan rekomendasi teknis penggunaan pompa mekanik di aliran Sungai Progo. 
Ringkasan Berita:
  • Perkumpulan Penambang Progo Sejahtera mendatangi Kantor Gubernur DIY untuk beraudiensi dengan Pemda DIY
  • Penambang menuntut izin pertambangan rakyat segera dipercepat, sekaligus rekomendasi teknis diberikan untuk penggunaan pompa mekanik dalam kegiatan pertambangan
  • Pemda DIY masih menunggu hasil kajian yang dilakukan BBWSSO

 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Puluhan penambang pasir yang tergabung dalam Perkumpulan Penambang Progo Sejahtera mendatangi Kantor Gubernur DIY di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Selasa (12/11/2025).

Mereka menuntut agar pemerintah daerah segera mempercepat proses perizinan penambangan rakyat serta memberikan rekomendasi teknis (Rekomtek) untuk penggunaan pompa mekanik dalam aktivitas pertambangan di aliran Sungai Progo.

Ketua Perkumpulan Penambang Progo Sejahtera, Agung Mulyono, mengatakan para penambang rakyat kini kesulitan melanjutkan kegiatan karena izin mereka telah berakhir pada 2024 dan belum bisa diperpanjang. 

“Kedatangan kami hari ini hanya untuk menuntut agar izin pertambangan rakyat dapat segera dipercepat, sekaligus agar rekomendasi teknis diberikan untuk penggunaan pompa mekanik dalam kegiatan pertambangan rakyat,” ujarnya.

Agung menjelaskan, sejak tahun 2015 pihaknya telah memperjuangkan agar aktivitas penambangan rakyat diakui secara resmi.

Perjuangan itu berbuah hasil pada 2019 ketika mereka memperoleh Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang memungkinkan penggunaan pompa mekanik.

Namun, izin tersebut berakhir tahun lalu dan tidak dapat diperpanjang karena proses rekomendasi teknis dari Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO) belum terbit.

“Pemda mengatakan hal ini bergantung pada kajian dari BBWSSO. Mereka masih melakukan kajian terkait pertambangan ini. Padahal, kegiatan kami ini pertambangan rakyat, bukan seperti yang menggunakan alat berat,” ujar Agung.

Menurut aturan terbaru, pemegang IPR kini hanya diperbolehkan menambang secara manual menggunakan pacul atau senggrong.  

Namun, bagi penambang di palung sungai, metode manual dinilai tidak realistis.

“Kami menambang di palung sungai, bukan di daratan. Kalau di palung, tentu tidak mungkin menambang hanya dengan pacul atau senggronv,” kata Agung.

Ia menegaskan, penggunaan pompa mekanik justru penting agar penambang bisa menjangkau material di dasar sungai.

“Kalau pakai pompa mekanik, kami bisa mengambil material di kedalaman sekitar dua meter. Tapi kalau hanya pakai pacul dan senggrong, itu tidak bisa dilakukan,” ujarnya.

Baca juga: Penambang Sungai Progo Desak Percepatan Izin Pompa Mekanik, Pemda DIY Akan Tinjau Lokasi

Sejak izin berakhir, para penambang di wilayah Bantul dan Kulon Progo sudah hampir satu tahun tidak bisa bekerja.

Dampaknya, ratusan keluarga kehilangan sumber penghasilan utama. 

“Anak-anak kami yang sekolah jadi terkendala karena kami kehilangan penghasilan untuk biaya bensin, paket data, dan makan sehari-hari,” tutur Agung.

Menurut Agung, terdapat sekitar 840 kepala keluarga yang terdampak di dua kabupaten tersebut.

Mereka tergabung dalam 36 kelompok penambang rakyat yang sebelumnya beroperasi di sekitar 87 titik tambang.

Sebelum dihentikan, rata-rata pendapatan per penambang mencapai Rp100.000 hingga Rp150.000 per hari dengan volume produksi 15–17 meter kubik per titik tambang setiap hari.

Hingga kini, para penambang belum menerima kepastian dari pemerintah daerah mengenai boleh tidaknya penggunaan pompa mekanik.

“Katanya nanti akan dilihat dalam kajian. Mereka akan meninjau kembali izin tata ruang untuk menentukan alat apa yang boleh digunakan. Tapi sejauh ini hanya disebutkan pacul dan senggrong,” kata Agung.

Ia berharap pemerintah segera menetapkan kebijakan yang lebih berpihak pada penambang rakyat. 

Tunggu Kajian

Sekda DIY, Ni Made Dwipanti Indrayanti memastikan persoalan perizinan penambangan pasir di Sungai Progomasih menunggu hasil kajian teknis dari Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO).

Kajian tersebut akan menjadi dasar kebijakan pemerintah daerah terkait penggunaan alat bantu, termasuk pompa mekanik, dalam kegiatan pertambangan rakyat.

Ni Made Dwipanti Indrayanti, mengatakan pertemuan dengan perwakilan penambang Sungai Progo pada Selasa (12/11/2025) merupakan bagian dari rangkaian diskusi yang telah dilakukan beberapa kali.

“Ini merupakan hasil pertemuan yang kesekian kalinya terkait dengan izin pertambangan di Sungai Progo. Mereka ingin menanyakan hal-hal terkait proses perizinan karena dari sisi legalitas, mereka harus memiliki izin. Nah, izin ini terhambat pada rekomendasi teknis dari BBWSSO, di mana dalam rekomendasi tersebut diwajibkan adanya kesepakatan bagi penambang untuk melakukan kegiatan tanpa menggunakan alat berat maupun alat bantu lainnya,” ujarnya.

Menurut Ni Made, persoalan ini berakar pada perbedaan tafsir terhadap peraturan pemerintah yang menjadi dasar pelaksanaan pertambangan rakyat.

“Dalam diskusi kami, sebenarnya sudah dilakukan penyandingan antara peraturan pemerintah yang lama dengan yang baru. Di PP yang baru, tidak ada pengaturan yang secara eksplisit melarang penggunaan alat berat atau bahan peledak. Hanya disebutkan bahwa kegiatan pertambangan harus menggunakan kaidah teknik pertambangan yang baik, khususnya dalam hal pengelolaan lingkungan dan keselamatan pertambangan,” tuturnya.

Ia menegaskan, Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021, yang mencabut PP Nomor 23 Tahun 2010, tidak lagi memuat larangan eksplisit terhadap penggunaan alat berat maupun bahan peledak.

Karena itu, Pemda DIY meminta BBWSSO menjelaskan secara rinci dasar kekhawatiran mereka dalam menahan rekomendasi teknis. 

“Kami meminta Balai Besar untuk melakukan kajian. Kajian tersebut harus menjelaskan secara rinci apa yang sebenarnya menjadi kekhawatiran mereka, misalnya terkait gradasi, alur sungai, maupun potensi bahaya terhadap bangunan-bangunan negara seperti bangunan air atau jembatan di sekitar lokasi,” ujarnya.

Ni Made menekankan bahwa kejelasan hasil kajian tersebut penting agar pemerintah dapat memahami secara konkret penerapan kaidah pertambangan yang baik.

“Ketika kita membaca tentang penerapan kaidah teknik pertambangan yang baik, perlu dipahami juga seperti apa bentuk penerapannya—baik dari segi cara maupun alat yang digunakan. Ini yang perlu dijelaskan secara konkret,” katanya.

Tidak Sinkron

Dalam pembahasan bersama BBWSSO, Pemda DIY juga menemukan adanya ketidaksinkronan antara aturan teknis pertambangan dan penetapan zonasi berdasarkan tata ruang wilayah.

“Permasalahan ini bukan hanya soal penggunaan alat berat semata. Ketika zonasi pertambangan sudah ditentukan berdasarkan tata ruang, maka ada area-area tertentu yang masuk zona merah dan tidak boleh dilakukan penambangan. Yang diperbolehkan hanyalah di area palung sungai,” ujar Ni Made.

Namun, ia menilai kondisi lapangan menunjukkan bahwa penambangan di area palung sungai sulit dilakukan tanpa alat bantu.

“Kalau di pinggir sungai, mungkin masih memungkinkan tanpa menggunakan alat berat atau alat sedot. Tapi kalau di area palung sungai, jelas tidak mungkin. Karena itu, kami juga meminta Balai Besar untuk segera memperjelas hasil kajian dan analisisnya, termasuk kemungkinan penerapan teknis di lapangan seperti apa,” katanya.

Lebih jauh, Pemda DIY mendorong agar hasil kajian mampu memberikan batasan yang jelas mengenai aspek teknis dan pengawasan pascaizin.

“Harus ada aturan yang jelas: sejauh mana kegiatan boleh dilakukan, berapa volume yang boleh diambil, dan bagaimana penguatannya di sisi pengawasan. Jika setelah perizinan diberikan ternyata ada pelanggaran, maka pengawasan harus diterapkan. Bila ditemukan pelanggaran, maka dapat diberikan sanksi hingga pencabutan izin,” tutur Ni Made.

Selain sinkronisasi dengan aspek teknis, ia menekankan perlunya konsolidasi antara kebijakan pertambangan dan tata ruang.

“Jika tata ruang sudah mengatur wilayah-wilayah mana saja yang boleh dilakukan penambangan, maka itu yang harus dijadikan acuan utama. Sementara BBWSSO secara teknis perlu menyesuaikan aturannya agar tidak tumpang tindih,” ujarnya.

Menurut Ni Made, regulasi pertambangan tidak bisa diberlakukan secara seragam di seluruh Indonesia. 

“Aturan ini tidak bisa diberlakukan secara nasional secara kaku, karena setiap daerah memiliki karakteristik berbeda. Misalnya, penambangan emas dan pasir jelas berbeda caranya. Begitu juga dengan morfologi sungai—Sungai Progo dan Sungai Opak saja berbeda karakteristiknya,” ujarnya menambahkan.

Pemda DIY menargetkan kajian teknis BBWSSO rampung pada Desember 2025.

Kajian ini akan dilakukan bersama Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), serta melibatkan perwakilan penambang rakyat. 

“Kami juga meminta agar para penambang dilibatkan—tentu tidak semua, tetapi diwakili oleh beberapa perwakilan. Jadi secara akademis ada pihak universitas, secara teknis dan teknokratis ada instansi terkait, dan dari sisi pelaku lapangan juga terlibat. Dengan begitu, produk kajian ini benar-benar komprehensif dan melibatkan semua pihak,” tandas Ni Made. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved