Keracunan MBG

Keracunan MBG Terus Terulang, Dosen UMY Sebut Perlu Ada Audit dan Akreditasi SPPG

Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UMY Dr. dr. Merita Arini, MMR., mengatakan keracunan MBG karena banyak faktor.

Dok. UMY
Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. dr. Merita Arini, MMR., 

Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kejadian kasus keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus berulang. Bahkan di Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman tercatat ada dua kali keracunan MBG. Ada ratusan siswa yang terdampak.

Kasus terbaru, sebanyak 695 siswa di Kapanewon Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, mengalami gejala keracunan usai menyantap menu MBG yang disajikan pada Selasa (28/10/2025).

Ratusan siswa yang keracunan MBG tersebut dari dua sekolah yakni SMP Negeri 1 Saptosari dan SMK Saptosari.

Menurut Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. dr. Merita Arini, MMR., keracunan MBG karena banyak faktor. Pasalnya rantai MBG sangat panjang, mulai dari pengadaan bahan baku hingga terjamah oleh penerima manfaat.

Bahkan jika MBG dikelola oleh masing-masing sekolah pun tidak menjamin tidak terjadi keracunan, meskipun secara jumlah tidak sebanyak MBG.

“Kalau mencari penyebabnya (keracunan MBG) harus melalui riset dulu, sifatnya multifaktorial. Prosesnya kan panjang mulai dari purchasing, pengolahan, tim penjamah, distribusi, sangat berpengaruh. Belum lagi hand hygiene. Pilar-pilar ini harus ditegakkan,” katanya, Rabu (29/10/2025).

“Karena ini sifatnya multifaktorial, berarti perlu audit SPPG itu. Kalau sekolah aja ada akreditasi, rumah sakit ada akreditasi, SPPG juga ada akreditasi. Harus ada audit internal, multi internal, multi eksternal,” sambungnya.

Ia mengungkapkan dalam melakukan audit juga mestinya dilakukan multidimensi oleh stakeholder terkait. Mulai dari ahli gizi untuk mengaudit gizinya, hingga pihak yang memberikan izin pendirian SPPG. 

Dengan demikian, hasil audit bisa lebih komprehensif dan dilihat dari berbagai multidisiplin ilmu. Proses audit juga harus cepat dan berkala, namun dilakukan dengan serius bukan sekadar formalitas.

“Kalau di faskes, karena saya dokter, itu ada KTD (Kejadian Tidak Diharapkan), seperti keracunan, kematian, jatuh. Kalau sampai fatal itu namanya sentinel. Kalau di faskes, itu untuk pembelajaran, jangan sampai ada KTD berulang. Ada sistem audit, harus berjalan rutin, baik internal maupun eksternal,” ungkapnya.

“Itu jadi budaya mutu yang dikembangkan bersama. Audit tidak hanya dapurnya, tetapi suplainya dinilai mutunya, sampai terjamah anak, PHBS juga diaudit,” lanjutnya.

Mestinya, audit ini sudah dipikirkan oleh pemerintah bersamaan dengan pelaksanaan MBG. Termasuk dengan pembentukan satuan tugas untuk mengatasi keracunan MBG. (maw)

 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved