Cerita Paimin Andalkan Becak Listrik di Malioboro, Berharap Fasilitas Pengisian Daya Dibenahi

Sudah 2 tahun terakhir, Paimin dan puluhan rekannya mengandalkan becak listrik untuk beroperasi di kawasan Malioboro

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
Istimewa
Foto dok Ilustrasi Becak Listrik di Yogyakarta 

TRIBUNJOGJA.COM - Dulu, setiap kali menarik becak di bawah terik matahari, Paimin Ahmad Sarjono harus sesekali berhenti sekadar mengatur napas. 

Kini, dengan becak listrik di tangannya, perjalanan terasa lebih ringan—tanpa suara mesin, tanpa bau bensin, dan tanpa tenaga terkuras. 

“Bedanya jauh sekali,” katanya mengenang masa-masa awal sebelum becak listrik mengambil alih becak kayuhan.

Sudah dua tahun terakhir, Paimin bersama puluhan rekannya di Koperasi Jasa Becak Kayu Jogja (KGBJ) mengandalkan becak listrik untuk beroperasi di kawasan Malioboro dan sekitarnya.

Inovasi ini menjadi bentuk nyata transformasi transportasi tradisional menuju moda ramah lingkungan.

“Tahun 2023 kemarin ada 50 unit yang diluncurkan dan dibagi untuk tiga koperasi. Koperasi saya kebagian 20 unit. Kemudian tahun 2024 jumlahnya hanya 40 unit, juga dibagi tiga koperasi—10, 15, dan 15. Saya dapat 15 unit,” ujarnya.

Selama dua tahun penggunaan, becak listrik terbukti tangguh di lapangan. Kalaupun ada kendala, sifatnya ringan dan mudah ditangani.

“Belum ada yang rusak berat. Biasanya cuma kabel lepas, bisa diperbaiki sendiri oleh pengemudi,” ujarnya.

Meski demikian, sejumlah tim gabungan dari UGM, Dinas Perhubungan Provinsi DIY, dan Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta beberapa kali melakukan peninjauan untuk mengevaluasi performa kendaraan tersebut.

Menurut Paimin, setiap becak listrik produksi 2024 dilengkapi garansi satu tahun, termasuk jaminan penggantian komponen.

“Kalau ada kerusakan yang tidak disengaja, bisa langsung diganti. Misalnya waktu itu ada baterai rusak, langsung diganti baru,” ujarnya. Penggantian tersebut dilakukan oleh tim dari UGM, selaku pengembang utama becak listrik.

Namun, tidak semua unit berasal dari UGM. Ada pula yang diproduksi oleh pabrikan sepeda Selis. Bedanya, kepemilikan unit Selis berada di bawah Dewan Kota Yogyakarta

Selain perawatan, aspek administratif seperti Surat Izin Operasional Kendaraan Tidak Bermotor (SIUKTB) juga dikoordinasikan melalui Dewan Kota.

Kendati begitu, infrastruktur pendukung belum sepenuhnya memadai. Salah satu stasiun pengisian daya yang dibangun di kawasan Ketandan kini jarang digunakan karena kondisinya rusak.

“Masih ada, tapi sudah rusak. Jadi kami jarang pakai. Biasanya saya minta izin ngecas di tempat lain, seperti di daerah Pakuncen,” ujarnya. 

Ia bercerita, ada pengemudi becak yang bahkan menempuh jarak jauh untuk bekerja. “Ada teman saya yang rumahnya di Jetis Bantul, jaraknya sekitar 22 kilometer ke kota. Tiap hari pulang-pergi naik becak listrik, dan masih kuat,” tambahnya.

Ia berharap fasilitas pengisian daya bisa diperbaiki agar lebih efisien. 

“Teman-teman malas ke Ketandan karena fasilitasnya kurang. Padahal dulu itu baru dibangun. Mudah-mudahan nanti instalasinya bisa dibenahi supaya bisa dipakai lagi,” ujarnya.

Paimin juga menyoroti masih maraknya becak motor di sejumlah titik wisata, meskipun kawasan Malioboro sudah ditetapkan sebagai zona rendah emisi. 

“Saya pribadi tidak mau konflik. Soal becak motor itu urusannya pemerintah. Sudah pernah dibahas, katanya akan ada penertiban. Prinsipnya, kendaraan yang pakai BBM memang tidak boleh beroperasi di sana,” tuturnya.

Menurut dia, jumlah becak listrik yang ada saat ini—sekitar 90 unit—masih jauh dari cukup. Ia berharap pemerintah daerah dapat menambah armada sekaligus mendorong sektor swasta untuk turut serta.

“Dinas Pariwisata seharusnya bisa mendorong hotel-hotel berbintang agar memakai becak listrik untuk melayani tamu, bukan becak motor. Tapi sampai sekarang belum ada kabar tambahan unit, mungkin baru akan ada lagi sekitar tahun 2026,” katanya.

Meski demikian, minat pengemudi becak motor untuk beralih ke becak listrik masih rendah.

“Masih sedikit. Padahal menurut saya, pemerintah harus tegas. Becak listrik ini bisa jalan, bisa cari uang, dan tidak menguras tenaga. Tapi banyak yang belum mau pindah karena sudah terbiasa dengan becak motor,” ujarnya.

Soal kualitas, Paimin menilai versi terbaru becak listrik jauh lebih baik dibanding edisi awal. “Saya dan penumpang sama-sama senang, karena jalannya halus dan tidak ribut. Perawatannya juga mudah,” katanya. 

Namun, ia memberi catatan agar sistem pengereman diperkuat. “Sekarang masih pakai rem cakram motor, satu di bagian belakang. Sebenarnya cukup kuat, tapi untuk jarak jauh atau jalan menurun sebaiknya ditambah sistem pengaman rem. Versi 2023 itu masih pakai cakram kecil, seperti cakram sepeda, jadi cepat aus,” ujarnya.

Bagi Paimin dan rekan-rekannya, becak listrik bukan sekadar kendaraan, melainkan simbol perubahan. Di tengah geliat kota yang kian modern, mereka tetap menjaga napas tradisi sambil melangkah menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan. 

 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved