Banyak Kasus Keracunan, Dosen UGM Minta Program MBG Dihentikan Sementara Sambil Evaluasi

Dengan maraknya kasus keracunan massal, sebaiknya MBG dihentikan sementara sambil melakukan evaluasi. 

freepik.com
ILUSTRASI - Makan Bergizi Gratis 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Keracunan massal akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus berulang.

Terbaru, keracunan massal terjadi Sulawesi Tengah mengakibatkan ratusan pelajar menjadi korban. 

Menurut Kepala Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial FK-KMK UGM, Yayi Suryo Prabandari, setiap program mestinya dikaji terlebih dahulu, termasuk MBG.

Dengan maraknya kasus keracunan massal, sebaiknya MBG dihentikan sementara sambil melakukan evaluasi. 

"Sebetulnya setiap program itu sebelum dilaksanakan itu kan dikaji dulu, asesmen dulu apakah memang tersedia, kemudian visibilitas dari siapa nanti penyelengaranya.  Masak untuk satu sekolah saja kan muridnya cukup banyak. Kehati-hatian harus ada," katanya, Minggu (21/09/2025). 

"Kalau masak banyak itu kan  salah satu kerentannya keracunan makanan. Jadi bagaimana penyediaannya itu. Kalau dengan banyaknya kejadian keracunan, ada baiknya dihentikan dulu, sambil melakukan evaluasi. Seberapa jauh kemampuan daerah dan penyelengganya," sambungnya. 

Ia berpendapat banyaknya kasus keracunan MBG menandakan penyedia atau SPPG tidak mampu.

Apalagi mata rantai penyediaan MBG cukup panjang.

Mulai dari pembelian bahan, penyimpanan bahan, persiapan, pemasakan, penataan, hingga pengiriman. 

Baca juga: Program MBG Punya Tujuan Mulia, Tapi Risiko Keracunan Mengintai Jika Pengawasan Lemah

Dengan demikian, harus ada pengawasan ketat pada setiap prosesnya. Sebab ketidaksesuaian dalam satu proses saja bisa menyebabkan keracunan

"Pisau kotor sedikit saja, virus rotavirus yang bikin diare itu sudah datang. Lalu proses meletakkan (menata ke tempat makan) itu juga bersih atau tidak, tempatnya bersih atau tidak. Proses delivery nya juga sama. Sehingga harus ada pengawasan, apalagi ini kan partai besar. Kecolongan satu-dua (pada proses penyediaan) bisa menyebabkan keracunan makanan," terangnya. 

Selain pengawasan, perlu ada SOP yang jelas terkait mekanisme penyediaan makanan.

Di samping itu, SOP juga diperlukan untuk menu MBG, sehingga tujuan pemenuhan gizi bisa tercapai. 

Daripada SPPG, sebaiknya MBG dilimpahkan ke sekolah. Bagi sekolah yang sudah memiliki program katering bisa dilanjutkan, sementara sekolah yang belum memiliki program bisa dibantu melalui kerja sama sekolah dan orangtua. 

"Supaya masaknya tidak terlalu banyak. Proses mata rantai penyediaan nggak sederhana," imbuhnya. (*) 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved