Jejak Hijau

Program MBG Punya Tujuan Mulia, Tapi Risiko Keracunan Mengintai Jika Pengawasan Lemah

Sejumlah dugaan keracunan makanan yang menimpa siswa di berbagai daerah memantik sorotan terhadap pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Ikrob Didik Irawan
Tribunjogja.com/Dewi Rukmini
MBG PERDANA: Para siswa SMPN 2 Cawas tampak menikmati menu makan nasi kuning saat uji coba program MBG setelah SPPG Gombang 002 Cawas diresmikan, pada Kamis (4/9/2025). 

TRIBUNJOGJA.COM - Sejumlah dugaan keracunan makanan yang menimpa siswa di berbagai daerah memantik sorotan terhadap pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM Prof. Sri Raharjo menilai, masalah utamanya bukan pada niat kebijakan, melainkan pada kesiapan teknis dan pengendalian keamanan pangan di lapangan. 

Hal itu disampaikan dalam wawancara khusus Program Jejak Hijau Tribun Jogja, literasi digital untuk bumi yang berkelanjutan, menelusuri dampak dan menyuarakan harapan.

Menurut Prof Sri, ada empat faktor utama yang membuat risiko keamanan pangan melonjak ketika program digelar serentak dan berskala masif. Pertama, volume produksi.

“Menyediakan makanan bergizi dalam jumlah sangat besar memerlukan peralatan, fasilitas, dan tenaga terlatih yang memadai. Tanpa itu, risiko kontaminasi meningkat,” ujarnya.

Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM Prof. Sri Raharjo
Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM Prof. Sri Raharjo (Tribun Jogja)

Kedua, frekuensi penyajian berulang. MBG disajikan setiap hari, sepanjang bulan hingga satu semester.

Proses yang panjang dan berulang menuntut konsistensi standar higiene dan sanitasi, mulai dari penerimaan bahan baku, pengolahan, penyimpanan, hingga distribusi.

Ketiga, jenis bahan pangan berisiko tinggi, khususnya pangan asal hewani seperti daging, ikan, telur, dan susu.

Di satu sisi kaya protein; di sisi lain mudah menurun mutu dan rentan cemaran jika rantai dingin, suhu, serta waktu simpan tidak dikendalikan ketat.

Keempat, kerentanan konsumen. “Anak sekolah tidak selalu berada pada kondisi kebugaran ideal. Sedikit saja gangguan bisa memicu keluhan seperti diare,” kata Prof Sri.

Ia menekankan, fakta bahwa tidak semua siswa terdampak pada setiap insiden justru mengindikasikan variabel ganda, yakni mutu pangan yang tidak seragam serta perbedaan imunitas individu.

Karena itu, investigasi harus memetakan titik rawan di setiap mata rantai. Mulai dari bahan baku, proses, penyimpanan, dan distribusi.

Prof Sri mendorong penyelenggara memperkuat audit internal dan inspeksi berkala.

Minimal, harus ada petugas yang memahami praktik higiene, kontrol suhu, uji organoleptik-sederhana, serta pencatatan waktu produksi–saji.

“Tanpa bukti proses, sulit melakukan perbaikan,” tegasnya.

Ia mengingatkan, tujuan mulia MBG akan “berbalik arah” bila pengendalian keamanan pangan lemah. Transparansi temuan dan perbaikan cepat harus diposisikan sebagai bagian dari akuntabilitas kebijakan. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved