Dari Overthinking hingga Penasaran, Alasan Warga Ikut Lomba Melamun di Kotagede Yogyakarta

Intan, peserta lomba melamun asal Sleman, menarik perhatian penonton saat tampil mengenakan kostum lebah dalam lomba melamun.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
LOMBA MELAMUN: Peserta lomba melamun di Benteng Cepuri, Kotagede, Yogyakarta, Senin (18/8/2025), duduk diam menatap kosong sambil berusaha menahan distraksi yang disiapkan panitia. 

TRIBUNJOGJA.COM - Warga Benteng Cepuri, Kotagede, Yogyakarta, memilih cara berbeda untuk merayakan Hari Kemerdekaan. Mereka duduk diam, menatap kosong, dan melamun. 

Senin (18/8/2025), lomba melamun pertama di kawasan itu digelar, menghadirkan tawa sekaligus jeda di tengah hiruk-pikuk perayaan 17-an.

Gagasan lomba ini muncul dari pengalaman melihat tradisi serupa di Jepang. Salah satu panitia menceritakan, ide itu muncul sebagai bentuk perlawanan kecil terhadap ritme hidup yang kian cepat.

“Itu terinspirasi dari lomba di Jepang beberapa tahun yang lalu, tapi kami belum pernah punya kesempatan untuk ngadain lomba ini. Gimana sih rasanya? Kebetulan ini ada 17-an, di masa serba cepat kayak sekarang, kami pengin coba bikin lomba melamun. Supaya orang-orang bisa punya pengalaman, dengan sadar dan sengaja, untuk coba deh melamun,” ujar Muhammad Primajati, penyelenggara lomba melamun.

DUDUK DIAM: Peserta lomba melamun di Benteng Cepuri, Kotagede, Yogyakarta, Senin (18/8/2025), duduk diam menatap kosong sambil berusaha menahan distraksi yang disiapkan panitia.
DUDUK DIAM: Peserta lomba melamun di Benteng Cepuri, Kotagede, Yogyakarta, Senin (18/8/2025), duduk diam menatap kosong sambil berusaha menahan distraksi yang disiapkan panitia. (TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO)

Awalnya, panitia hanya menargetkan 20 peserta. Namun, antusiasme warga membeludak. 

“Pas dibuka pendaftaran, ternyata sampai 110–120 orang. Akhirnya terpaksa kami tutup,” tambah Jati.
Tiga Kategori, Juri hingga “Distraksi”

Dalam lomba ini, peserta memperebutkan tiga kategori pemenang: ekspresionis, paling lama melamun, dan kostum terbaik. 

Tidak seperti di Jepang yang menggunakan detektor detak jantung sebagai indikator konsentrasi, di Kotagede penilaian dilakukan secara manual.

“Kalau di Jepang ada alatnya, jelas ukurannya. Kalau di kita ya manual. Kita lihat ekspresi mereka, apakah tahan dengan distraksi yang kami siapkan, dan juga dinilai outfit-nya. Makanya ada yang pakai kostum lebah, berbunga-bunga, dan macam-macam,” jelas Jati.

Dewan juri terdiri dari seorang pegiat slow living, seorang psikolog, serta beberapa “juri bayangan” yang ikut menilai. Distraksi pun disiapkan, mulai dari pertunjukan kecil hingga musik-musikan. Peserta yang paling lama bertahan tanpa terganggu itulah yang berhak meraih nilai tinggi.

Rentang usia peserta bervariasi. Meski didominasi anak muda, ada pula bapak-bapak juga pekerja.

“Dari respons di media sosial kelihatan, sebelum acara mereka ada yang bikin gladi bersih melamun, direkam, lalu di-tag ke akun kami. Jadi seru banget,” tutur Jati.

Peserta tidak hanya berasal dari Yogyakarta. Ada yang datang dari Jakarta, Semarang, hingga Magelang. 

“Tapi mayoritas tetap dari Jogja,” katanya.

Meski terdengar jenaka, lomba ini menyimpan pesan. 

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved