Bendera 'One Piece' sebagai Simbol Protes, Dosen Unisa Yogyakarta Minta Pemerintah Lebih Responsif
Menurutnya, pengibaran bendera yang bukan lambang negara tidak otomatis bermakna pelanggaran.
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Fenomena pengibaran bendera bertema serial animasi One Piece yang sempat viral belakangan dipandang bukan sekadar atraksi budaya pop.
Gerry Katon Mahendra, dosen Administrasi Publik Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, menilai tindakan itu lebih tepat dibaca sebagai bentuk ekspresi protes warga terhadap kondisi tata kelola negara yang dinilai belum memenuhi harapan publik.
“Menjadi fenomena menarik (Pengibaran bendera One Piece), jika ditinjau dari sudut pandang administrasi publik fenomena ini merupakan salah satu bentuk ekspresi protes masyarakat terkait kondisi tata kelola negara yang dianggap belum sesuai harapan masyarakat. Misalnya berkaitan dengan kebijakan pajak, lapangan pekerjaan, dan daya beli masyarakat yang dianggap belum sesuai harapan,” ucap Gerry.
Bagi Gerry, sikap pemerintah menghadapi fenomena semacam ini seyogyanya bersifat reflektif, yakni menanggapinya sebagai alarm atau motivasi untuk memperbaiki kinerja pemerintahan.
“Bendera non negara ini dapat disikapi sebagai simbol kritik yang sebaiknya dijawab dengan kinerja yang lebih baik,” ungkap Gerry.
Menurutnya, pengibaran bendera yang bukan lambang negara tidak otomatis bermakna pelanggaran.
Selama tidak bertentangan dengan ketentuan perundangan—termasuk tidak dipadankan atau ditempatkan sejajar/bersanding dengan Bendera Merah Putih—ekspresi tersebut tetap berada dalam koridor kebebasan berekspresi.
“Saya berpendapat bahwa ini bagian dari ekspresi masyarakat dalam menyuarakan kritik dan harapan akan kondisi yang lebih baik lagi,” kata Gerry.
Baca juga: Penghapusan Mural One Piece, Pakar Komunikasi UMY: Pemerintah Gagal Membaca Kultur Pop Generasi Z
Kerangka hukum yang menjadi rujukan, menurut Gerry, adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.
Dalam UU itu, pengibaran simbol non negara seperti bendera organisasi atau lambang budaya harus tunduk pada ketentuan yang menjadikan posisi Bendera Merah Putih sebagai utama; bendera asing hanya diperbolehkan dalam konteks diplomatik; dan simbol separatis yang mengancam kesatuan dilarang.
Cukup jelas diterangkan bahwa tidak boleh merendahkan martabat Bendera Pusaka, sehingga pengibaran bendera simbol seperti yang viral saat ini kembali lagi merujuk pada ketentuan yang ada.
“Jika berdiri tunggal pada ruang-ruang yang diperbolehkan, tentu dapat ditafsirkan tidak melanggar,” tegas Gerry.
Gerry menyarankan agar respons pemerintah mengutamakan pendekatan dialogis, persuasif, dan partisipatif yang memberi ruang bagi ekspresi kreatif generasi muda—tanpa mengurangi penanaman nilai kebangsaan melalui edukasi, kolaborasi kebudayaan, serta keteladanan publik.
“Jika berkaitan dengan kondisi negara yang kurang ideal, pemerintah jangan lupa juga untuk terus berupaya terbuka terhadap kritik dan memperbaiki/meningkatkan kualitas kinerja,” ujar Gerry.
Di lapangan, kata Gerry, pemerintah pusat dan sejumlah pemerintah daerah sejauh ini belum menangguhkan fenomena tersebut secara luas, asalkan tidak melanggar aturan.
Penghasilan DPR Tembus Ratusan Juta Rupiah per Bulan, Begini Komentar Dosen UGM |
![]() |
---|
Dosen UGM Desak LMK Tinjau Ulang Kebijakan Royalti Bagi Pelaku Usaha Kecil |
![]() |
---|
FKes Unjaya-Penerbit Deepublish Berkolaborasi, Tingkatkan Kapasitas Dosen dalam Penulisan Buku Ajar |
![]() |
---|
Pemerintah Serius Tingkatkan Kesejahteraan Guru dan Dosen, Anggarkan Rp 178 Triliun di 2026 |
![]() |
---|
UPY Kolaborasi dengan UPI, Tingkatkan Kompetensi Dosen Lewat Pelatihan Deep Learning |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.