Kata Sebagai Ruang Temu

Jagat maya kembali riuh setelah beredarnya video ajakan umrah ke Borobudur dan situs-situs budaya lainnya. 

Editor: ribut raharjo
TRIBUNJOGJA.COM / Alexander Ermando
Budi Masthuri, Asisten Ombudsman RI, Berminat Terhadap Isu Komunikasi Sosial 

Sebagian kalangan menolak penyebutan itu karena merasa bahwa rendang  hanya sah digunakan untuk daging sapi (halal), bukan babi (haram). 

Meskipun secara kuliner, rendang adalah metode memasak yang berasal dari tradisi Minangkabau dan bahannya bisa beragam. 

Namun ketika identitas agama melekat atau diekatkan pada sebuah resep, maka penyimpangan bahan akan dianggap bentuk penodaan.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana identitas, agama, budaya, dan suku dapat melekat begitu kuat pada kata, sehingga memunculkan batas-batas simbolik yang kaku. 

Kata bukan lagi alat komunikasi, tetapi menjadi semacam pagar eksklusif. Ini milik kami, jangan dipakai sembarangan, atau bahkan kamu tidak boleh menggunakannya. 

Kuasa atas kepemilikan kata semakin kuat jika KBBI sebagai otoritas pemberi makna telah meneguhkan hak kepemilikan tersebut. 

Politik Kata dan Hak Eksklusif

Setiap komunitas sosial memiliki politik kata. Kata-kata tertentu dianggap suci, luhur, atau milik kelompok tertentu, sehingga penggunaannya dibatasi hanya untuk mereka yang dianggap berhak. Bahasa menjadi medan kuasa, siapa boleh bicara apa, kepada siapa, dengan kata apa.

Istilah “umrah ke Borobudur” mengusik banyak orang karena telah melintasi batas itu. 

Ia membajak istilah keagamaan, lalu menyematkannya pada objek yang bukan menjadi tempatnya. 

Maka, kontroversinya bukan hanya soal makna kata, tapi juga soal ketegangan antara agama formal dan spiritualitas lokal, antara arus utama dan subkultur.

Menyebut ziarah atau kunjungan ke Borobudur sebagai umroh adalah tindakan yang provokatif. 

Meskipun dalam sudut pandang berbeda-dan pasti sulit diterma-penyebutan tersebut bisa dibaca sebagai cara menghubungkan praktik lama dengan bahasa baru yang lebih familiar bagi masyarakat hari ini. 

Sayangnya ini baru bisa diterima jika kata umroh ditarik pada area makna yang netral sebagai hanya kunjungan atau ziarah ke tempat suci, tanpa dilekati dengan penjelasan tentang identitas tertentu. 

Meskipun rasanya tidak mungkin. Sebab kata memiliki beban sejarah dan identitas. Mengubah penggunaannya bisa dianggap sebagai ancaman terhadap kemurnian identitas itu sendiri. 

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved