Kata Sebagai Ruang Temu

Jagat maya kembali riuh setelah beredarnya video ajakan umrah ke Borobudur dan situs-situs budaya lainnya. 

Editor: ribut raharjo
TRIBUNJOGJA.COM / Alexander Ermando
Budi Masthuri, Asisten Ombudsman RI, Berminat Terhadap Isu Komunikasi Sosial 

Ruang Negosiasi Makna

Kita patut bertanya, apakah setiap kata harus dibakukan dan dikunci hanya untuk satu makna dan satu komunitas? 

Apakah tidak mungkin ada ruang dialog antar kata, antar tradisi, antar makna? 

Bukankah bahasa, sebagaimana budaya, sejatinya cair. Ia tumbuh dan menyesuaikan diri dengan zaman? 

Kata-kata bisa bertransformasi, mengalami perluasan, penyempitan, bahkan pergeseran makna. 

Tetapi masalah akan selalu muncul ketika kata dikunci pada satu identitas, lalu menolak penggunaannya oleh pihak lain. 

Padahal bahasa dan kata itu sejatinya adalah milik bersama. Ia bekerja lintas batas. 

Ketika kita melarang kata dipakai oleh komunitas lain, yang terjadi adalah kita sedang menjadikan kata dan bahasa bukan sebagai alat pemahaman, tapi senjata pembatasan.

Tentu perlu berhati-hati, tidak semua penggunaan kata lintas identitas dapat dibenarkan. Ada saat di mana pemakaian kata bisa melukai, melecehkan, atau menyalahgunakan makna sakral satu komunitas atau agama tertentu. 

Tapi pada saat yang sama, kita juga perlu membuka ruang intepretasi baru untuk membangun jembatan, bukan sekadar pagar.

Di tengah masyarakat yang makin terpolarisasi, semua pihak perlu lebih arif dalam menyikapi kata. 

Jangan sampai bahasa dan kata yang mestinya berfungsi sebagai jembatan antar identitas justru berubah menjadi objek yang diperebutkan. 

Bukan hanya soal bunyi atau makna, tapi ini juga soal sikap, apakah kita ingin membangun percakapan atau memutus komunikasi? 

Mari kita jaga agar setiap kata bisa jadi ruang temu, bukan medan konflik. (*)

Halaman 3 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved