Mafia Tanah di Bantul

Dua Srikandi DPR RI Datangi Mbah Tupon Warga Bantul Korban Mafia Tanah

Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, bersama Wakil Ketua Komisi X DPR RI asal DIY, MY Esti Wijayati, mengunjungi kediaman Mbah Tupon

|
(TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO)
SERUAN: Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, didampingi Wakil Ketua Komisi X DPR RI asal DIY, MY Esti Wijayati, mengunjungi kediaman Mbah Tupon (68) di Dusun Ngentak, Bangunjiwo, Bantul, Sabtu (3/5/2025). Kunjungan ini sebagai bentuk dukungan moral sekaligus penegasan komitmen untuk mengawal proses hukum dan pengembalian hak atas tanah yang diduga digelapkan 

Tribunjogja.com Bantul -- Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, bersama Wakil Ketua Komisi X DPR RI asal DIY, MY Esti Wijayati, mengunjungi kediaman Mbah Tupon (68) di Dusun Ngentak, Desa Bangunjiwo, Bantul, pada Sabtu (3/5/2025). 

Kunjungan itu bertujuan memberikan dukungan moral sekaligus menegaskan komitmen mereka dalam mengawal proses hukum dan pengembalian hak atas tanah yang disengketakan.

MAFIA TANAH : Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, didampingi Wakil Ketua Komisi X DPR RI asal DIY, MY Esti Wijayati, mengunjungi kediaman Mbah Tupon (68) di Dusun Ngentak, Bangunjiwo, Bantul, Sabtu (3/5/2025).  Kunjungan ini sebagai bentuk dukungan moral sekaligus penegasan komitmen untuk mengawal proses hukum dan pengembalian hak atas tanah yang diduga digelapkan.
MAFIA TANAH : Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, didampingi Wakil Ketua Komisi X DPR RI asal DIY, MY Esti Wijayati, mengunjungi kediaman Mbah Tupon (68) di Dusun Ngentak, Bangunjiwo, Bantul, Sabtu (3/5/2025). Kunjungan ini sebagai bentuk dukungan moral sekaligus penegasan komitmen untuk mengawal proses hukum dan pengembalian hak atas tanah yang diduga digelapkan. (TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO)

Pada kesempatan tersebut, Rieke menyuarakan seruan tegas: “Balikin sertifikat Mbah Tupon, balikin!” Seruan ini menggema sebagai simbol perlawanan terhadap praktik-praktik curang yang kerap menyasar kelompok rentan, khususnya warga lanjut usia dengan tingkat literasi hukum dan administrasi yang terbatas.

Kedatangan mereka juga untuk menyerahkan surat blokir internal dari Kementerian ATR/BPN sebagai bentuk perlindungan terhadap hak kepemilikan tanah Mbah Tupon.

Rieke menjelaskan bahwa Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, merespons kasus ini dengan cepat. 

Bahkan, Kantor Pertanahan Kabupaten Bantul telah melakukan pemblokiran internal terhadap sertifikat hak milik Nomor 245/Bangunjiwo pada 29 April 2025 pukul 16.17 WIB.

“Dengan adanya pemblokiran ini, pihak yang mengaku sebagai pemilik sertifikat atas tanah seluas 1.655 meter persegi milik Mbah Tupon tidak lagi dapat melanjutkan proses pengalihan atau pelelangan atas tanah tersebut,” ujar Rieke, Sabtu (3/5/2025).

Pernyataan tersebut disampaikan Rieke sembari menyerahkan langsung surat blokir internal kepada Mbah Tupon di kediamannya. 

Ia menegaskan bahwa surat ini penting sebagai bukti perlindungan hukum agar tanah milik Mbah Tupon tidak dilelang oleh pihak Bank PNM.

Mbah Tupon Lebih Tenang

KONDISI MBAH TUPON: Mbah Tupon dan istri sedang duduk di depan rumah, di Ngentak, Kalurahan Bangunjiwo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, Kamis (1/5/2025).
KONDISI MBAH TUPON: Mbah Tupon dan istri sedang duduk di depan rumah, di Ngentak, Kalurahan Bangunjiwo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul, Kamis (1/5/2025). (TRIBUNJOGJA.COM/ Neti Istimewa Rukmana)

Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayati, menekankan bahwa kondisi Mbah Tupon kini sedikit lebih tenang karena adanya pendampingan dari berbagai pihak.

“Kita mengucapkan syukur hari ini Mbah Tupon setidaknya sudah ada ketenangan. Yang pertama, ada pendampingan dari banyak pihak — TNI, Polri, Mbak Rieke, lawyer, DPRD, juga pemerintah daerah, Pak RT, dan seluruh masyarakat sekitar Ngentak,” ujar Esti.

Ia menambahkan bahwa seluruh pihak akan terus mengawal proses hukum yang sedang berjalan, agar sertifikat tanah tersebut segera kembali atas nama Mbah Tupon


Ia juga menyampaikan bahwa pelajaran penting dari kasus ini adalah pentingnya kewaspadaan masyarakat dalam memberikan kepercayaan, terutama dalam urusan legalitas lahan dan kredit.

“Kasus ini berawal dari kepercayaan. Proses-proses yang harus dilakukan oleh dunia perbankan saat memberikan pinjaman harus benar-benar detail. Tidak hanya melihat sertifikatnya, tetapi juga harus melakukan verifikasi dan identifikasi secara menyeluruh,” katanya.

Esti juga menyoroti pentingnya pendekatan manusiawi bagi kelompok rentan yang mungkin mengalami keterbatasan dalam membaca atau memahami dokumen-dokumen legal.

“Kalau orang buta huruf, harus ada yang membacakan. Harus diberikan penjelasan. Jangan sampai dibawa pergi tanpa tahu apa-apa,” tegasnya.

Rieke menambahkan, bahwa pihaknya mengapresiasi langkah Ventura Capital yang langsung menghentikan proses lelang terkait sertifikat tersebut, serta kepada Kementerian ATR/BPN yang mengambil langkah cepat untuk memblokir sertifikat agar tidak berpindah tangan.

“Terima kasih untuk Ventura Capital yang langsung menghentikan proses lelang. Terima kasih juga kepada Kementerian ATR/BPN yang langsung memblokir sertifikat yang diagunkan. Ini membuktikan bahwa kalau kita solid, semua masalah bisa diselesaikan bersama,” ujar wanita yang dikenal dengan peran Oneng dalam serial komedi Bajaj Bajuri tersebut.

Ia juga menyoroti indikasi kuat adanya praktik penipuan dalam proses pengagunan sertifikat milik Mbah Tupon

Menurut Rieke, sekalipun prosedur perbankan dinyatakan bersih, terdapat celah yang memungkinkan terjadinya tindak pidana.

“PNM sendiri dalam hal ini tentu tidak sejauh itu, karena mereka punya SOP yang menyatakan proses bersih. Tapi ternyata di balik itu ada indikasi penipuan. Ini persoalan lain. Intinya adalah, lu jangan nipu orang! Kurang ajar, orang tua ditipu,” kata Rieke dengan nada geram.

Esti menambahkan bahwa keterlibatan aktif masyarakat dalam mengawal kasus ini menunjukkan bahwa semangat gotong royong dan kepedulian sosial masih hidup kuat di tengah masyarakat Yogyakarta.

“Sebagai wakil rakyat dari Yogyakarta, saya berterima kasih. Ini pelajaran tentang bagaimana masyarakat bersama-sama gotong royong, meluruskan sesuatu yang tidak benar, menjaga dan membackup supaya kasus-kasus seperti ini tidak terjadi lagi,” ungkapnya.

Sementara itu, PT Permodalan Nasional Madani (PNM) menyatakan bahwa pihaknya hanya menerima proses take over dalam kasus agunan berupa sertifikat tanah milik Mbah Tupon (68), warga Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, yang kini tengah menjadi sorotan publik. 

Sertifikat tersebut diketahui telah beralih nama dan dijadikan jaminan kredit senilai Rp 1,5 miliar. PNM menegaskan bahwa mereka justru menjadi pihak yang dirugikan dalam perkara ini.

Hal tersebut disampaikan oleh Corporate Secretary PT PNM, Dodot Patria, dalam pernyataannya kepada media saat mengunjungi rumah Mbah Tupon di Ngentak, Bangunjiwo, Sabtu (3/5/2025). 

Dodot menegaskan bahwa PNM mendukung langkah hukum yang sedang ditempuh oleh Mbah Tupon dan menyerahkan sepenuhnya penanganan perkara ini kepada aparat penegak hukum.

"Kami mengikuti proses hukum yang sudah disampaikan oleh kuasa hukum Mbah Tupon. Kita hormati dan patuhi proses tersebut," ujar Dodot.

Terkait kepemilikan sertifikat tanah yang telah beralih nama kepada pihak lain, Dodot menjelaskan bahwa PNM memperoleh agunan tersebut melalui mekanisme take over dari bank sebelumnya. 

Dalam hal ini, sertifikat tersebut bukan diterima atas nama Mbah Tupon, melainkan atas nama IF.

"PNM menerima agunan dalam kondisi nama sertifikat sudah bukan atas nama Mbah Tupon. Ini adalah hasil take overdari bank lain, dan justru kami sebenarnya adalah pihak yang dirugikan dalam kasus ini," tegas Dodot.

Lebih lanjut, Dodot menerangkan bahwa kredit dengan nilai Rp 1,5 miliar tersebut diajukan oleh MA, yang merupakan suami dari IF. Oleh karena itu, tanggung jawab pelunasan kredit tetap berada di tangan MA.

"Yang berkewajiban menyelesaikan utang tetaplah MA, karena itu sudah diatur dalam perjanjian kredit. Pihak kami hanya menjalankan sesuai aturan yang berlaku," ujarnya.

Menanggapi isu yang beredar tentang kemungkinan pelelangan aset milik Mbah Tupon, Dodot memastikan bahwa PNM telah menghentikan seluruh proses lelang sejak tahun lalu.

Ia menambahkan bahwa secara hukum, sertifikat tersebut kini berada dalam status blokir dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), sehingga tidak bisa diperjualbelikan.

"Sejak tahun lalu sudah kami hentikan proses lelangnya. Minggu lalu kami juga sudah bertemu langsung dengan pihak keluarga. Saat ini, BPN juga sedang memproses surat blokir sehingga secara legal tanah itu tidak bisa dilelang," katanya.

Terkait harapan Mbah Tupon agar sertifikat tanah miliknya bisa kembali, Dodot menegaskan bahwa semuanya bergantung pada proses hukum yang tengah berlangsung di Polda DIY.

"Sertifikat tersebut kini sudah menjadi bagian dari proses hukum di Polda DIY. Keputusan apakah sertifikat itu akan kembali atau tidak, akan ditentukan di pengadilan. Kita tunggu sampai prosesnya inkrah," tutup Dodot.

Sebagaimana diketahui, dugaan praktik mafia tanah mencuat setelah seorang warga lanjut usia di Bantul, DI Yogyakarta, terancam kehilangan rumah dan tanah miliknya. 

Mbah Tupon (68), petani sederhana yang tinggal di Dusun Ngentak, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, menjadi korban manipulasi kepemilikan tanah setelah menyerahkan sertifikat tanah untuk proses pemecahan yang berujung pada pengalihan nama tanpa sepengetahuan keluarga.

Kasus ini mengundang perhatian publik setelah viral di media sosial, dan menjadi sorotan serius kalangan legislatif maupun pemerintah daerah. 

Upaya pendampingan terhadap Mbah Tupon kini tengah dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk DPR RI, aparat hukum, serta masyarakat sekitar.

Awal mula kasus bermula pada tahun 2020 saat Mbah Tupon menjual sebagian tanah miliknya kepada seseorang berinisial B. 

Dari total luas 2.103 meter persegi, sebanyak 298 meter persegi dijual ke B, ditambah hibah jalan akses seluas 90 meter persegi dan sebidang tanah 54 meter persegi yang diserahkan untuk pembangunan gudang RT.

Setelah proses jual beli tersebut, tersisa sebidang lahan seluas 1.655 meter persegi yang masih dimiliki Tupon. Di atas lahan itu berdiri rumah Tupon dan rumah anaknya. 

Beberapa waktu kemudian, B mengusulkan agar sertifikat sisa tanah tersebut dipecah menjadi empat bagian, masing-masing atas nama Tupon dan tiga anaknya.

B juga menyatakan bersedia menanggung seluruh biaya pemecahan sebagai kompensasi atas sisa utang pembelian tanah sebesar Rp 35 juta yang belum ia lunasi.

Tanpa curiga, Mbah Tupon menyerahkan sertifikat tanah kepada B. Ia kemudian diajak oleh orang suruhan B yang berinisial T untuk menandatangani beberapa dokumen di dua lokasi berbeda. 

Proses tersebut berlangsung tanpa pendampingan keluarga, dan Mbah Tupon, yang tidak bisa membaca dan menulis, menandatangani dokumen tanpa mengetahui isi sebenarnya.

“Bapak enggak tahu apa yang ditandatangani karena tidak bisa baca tulis. Tidak ada yang membacakan. Katanya cuma urusan pecah sertifikat,” ungkap Heri Setiawan (30), anak sulung Tupon.

Puncak permasalahan terjadi pada Maret 2024, ketika sejumlah petugas dari sebuah bank datang ke rumah Tupon.

 Mereka menunjukkan fotokopi sertifikat tanah yang telah beralih nama atas seseorang berinisial IF. Nama itu sama sekali tidak dikenal oleh Tupon maupun keluarganya.

Tanah seluas 1.655 meter persegi yang sebelumnya atas nama Tupon diketahui telah diagunkan oleh IF ke bank sebagai jaminan pinjaman senilai Rp 1,5 miliar. Pinjaman itu macet dan tanah tersebut masuk dalam proses lelang. ( Tribunjogja.com/han)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved