Pemerhati Lingkungan Sebut Penutupan TPA Piyungan Jadi Awal Perubahan Sistemik Pengelolaan Sampah

Penutupan TPA open dumping adalah langkah logis karena kondisi eksisting sudah jauh melampaui kapasitas desain.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Tribunjogja.com/Hanif Suryo
LANGKAH LOGIS: Foto dok ilustrasi. Kondisi TPA Piyungan yang terekam pada Senin (4/9/2023) lalu. Prof. Ir. Wiratni Budhijanto, S.T., M.T., Ph.D., dosen Teknik Kimia UGM dan pemerhati isu lingkungan, penutupan TPA open dumping adalah langkah logis karena kondisi eksisting sudah jauh melampaui kapasitas desain. 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sebanyak 343 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) berjenis open dumping di berbagai daerah di Indonesia, termasuk TPA Piyungan di Daerah Istimewa Yogyakarta, akan ditutup.

Kebijakan ini bukan sekadar soal teknis pengelolaan sampah, tetapi juga mencerminkan pergeseran paradigma besar dalam tata kelola lingkungan.

Ini menuntut kesiapan sistemik dari pemerintah daerah dan kesadaran kolektif masyarakat.

Menurut Prof. Ir. Wiratni Budhijanto, S.T., M.T., Ph.D., dosen Teknik Kimia UGM dan pemerhati isu lingkungan, penutupan TPA open dumping adalah langkah logis karena kondisi eksisting sudah jauh melampaui kapasitas desain.

Saat ini, ada dua sistem utama dalam pengelolaan akhir sampah: open dumping dan sanitary landfill.

Pada open dumping, sampah hanya ditumpuk tanpa perlakuan, sementara sanitary landfill mengharuskan setiap lapisan sampah ditutup tanah agar pembusukan lebih terkendali dan dampak lingkungan dapat ditekan.

“Masalahnya, karena sampah terus berdatangan dan tanah tidak selalu tersedia, banyak TPA yang seharusnya sanitary landfill malah jadi open dumping. Ini jelas tidak sesuai aturan,” ujar Wiratni, Senin (21/4/2025).

Dia mengatakan, TPA terbuka memperburuk kualitas lingkungan, menimbulkan bau menyengat, dan memperlambat proses pembusukan hingga menciptakan gunungan sampah.

TPA Piyungan sendiri sudah lama melewati kapasitasnya, sementara permukiman di sekitarnya makin padat.

“Dari segi desain, lingkungan, maupun sosial, TPA Piyungan sudah tidak layak digunakan sejak 5–10 tahun lalu,” tegasnya.

Namun, di balik krisis ini, Wiratni melihat peluang untuk membentuk ulang pola pikir masyarakat.

Selama ini, keberadaan TPA justru membuat masyarakat abai terhadap tanggung jawab pengelolaan sampah.

“Kalau TPA ditutup, orang mulai mikir. Buang sampah jadi tidak semudah itu. Kita mulai introspeksi: jangan ada sisa makanan, kurangi kemasan, bawa tumbler sendiri. Ini jadi momen edukatif,” katanya.

Penutupan TPA open dumping juga diharapkan dapat mendorong kebiasaan memilah sampah, mengompos limbah organik di rumah, dan lebih bijak dalam konsumsi. Namun tantangan besar juga hadir dari sisi pemerintah daerah.

Kebijakan ini menuntut desentralisasi pengelolaan sampah, di mana setiap kabupaten/kota bertanggung jawab penuh.

“Ini seperti melepas bayi ke jalan raya. Kalau belum siap, ya panik. Tapi saya lihat sekarang semua daerah sedang berusaha keras,” ujarnya.

Wiratni menekankan, desentralisasi sebaiknya dilakukan bertahap, dengan dukungan teknis dan pendampingan dari pemerintah provinsi dan pusat.

Ia mengakui bahwa pemerintah sebenarnya telah berupaya melakukan sosialisasi, termasuk melalui fasilitator di tingkat kelurahan. Namun, tantangan utamanya adalah mengubah kebiasaan masyarakat.

“Sampah itu dianggap bukan urusan kita. Kita merasa berhak dilayani, bukan punya kewajiban mengurangi. Mengubah pola pikir ini sangat sulit,” ujarnya.

Sebagai bagian dari edukasi publik, UGM bersama sejumlah perguruan tinggi tengah merancang program Kuliah Kerja Nyata (KKN) bertema edukasi persampahan. Mahasiswa akan turun langsung ke masyarakat, melakukan edukasi dari rumah ke rumah secara persuasif.

“Lewat KKN ini, masyarakat diajak melihat sendiri seberapa besar sampah yang mereka hasilkan dan bagaimana mereka bisa menguranginya,” jelasnya.

Wiratni mengajak masyarakat dan pemerintah daerah untuk menjadikan penutupan TPA sebagai titik balik.

“Kalau masyarakat tidak mau berubah, kebijakan pemerintah sebagus apa pun akan sulit berhasil. Jangan hanya menyalahkan bau atau TPS, tapi enggan ubah kebiasaan. Yuk, introspeksi. Sudah zero waste belum?” pungkasnya. (Ard)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved