Menakar Masa Depan Wana Boedha Gunungkidul, dari Kubur Batu Menuju Cagar Budaya

Di tengah hamparan hijau perkebunan di kawasan Bagian Daerah Hutan (BDH) Paliyan, Gunungkidul, DIY tersimpan kisah masa lalu

Penulis: Almurfi Syofyan | Editor: Joko Widiyarso
DOKUMENTASI untuk TRIBUNJOGJA.COM
SITUS KUBUR BATU - Penampakan papan pemberitahuan terkait situs kubur batu Wana Boedha, Grogol, Paliyan, Gunungkidul. 

TRIBUNJOGJA.COM, GUNUNGKIDUL - Di tengah hamparan hijau perkebunan di kawasan Bagian Daerah Hutan (BDH) Paliyan, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersimpan kisah masa lalu yang perlahan kembali berdenyut.

Warga Kalurahan Grogol, Kapanewon Paliyan menemukan sesuatu yang bukan sekadar batu tetapi jejak peradaban kuno yang menyimpan rahasia tentang manusia ribuan tahun silam.

Temuan peti kubur batu di wilayah itu, yang oleh warga setempat disebut Wana Boedha, kini menjadi pusat perhatian banyak pihak.

Sebetulnya, kompleks batu kubur ini bukan hal baru bagi dunia arkeologi.

Citralekha Peradaban Yogyakarta, Hari Wahyudi, menyebut, delapan puluh tahun silam, tepatnya pada Juli 1934, seorang peneliti asal Belanda, Dr. Van Der Hoop, pernah menelusuri tempat yang sama.

"Pada saat itu, Hoop menemukan menhir-menhir dan peti kubur batu tuffa berorientasi timur-barat, arah yang dipercaya sarat makna spiritual bagi masyarakat megalitik," ujarnya pada Tribun Jogja, Minggu (12/10/2025).

Namun, seiring waktu, situs itu tenggelam dalam senyap, tertutup semak dan perkebunan. Hingga akhirnya pada tahun 2024, warga kembali menemukan peti kubur batu serupa saat mengolah lahan.

Di dalamnya, terselip artefak logam diduga sebagai bekal kubur. Temuan ini kembali menggugah kesadaran masyarakat akan nilai sejarah di tanah mereka.

"Wana Boedha bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi jejak peradaban yang pernah hidup dan berkembang di tanah ini," tambah Hari.

Ia menjelaskan, Dr. Van Der Hoop dalam penelitiannya pernah menemukan kuburan yang mana terdapat tengkorak manusia menghadap ke utara dan ada yang ke selatan.

"Jadi orientasi tetap mujur ke barat cuma tengkorak kepalanya yang berbeda arah hadapannya. Selain itu posisi tulang tangan juga ada yang lurus, ada juga yang bersilang atau terlipat di depan kerangka dada," ucapnya.

"Makanya kita menyebut ini dengan peradaban atau kebudayaan megalitik bukan menyebut dengan masa megalitik," tambahnya.

Lanjut Hari, pada Jumat (10/10/2025) telah digelar kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Menakar Masa Depan Wana Boedha” yang digelar di Rest Area TLH Kalurahan Grogol, Kapanewon Paliyan, Gunungkidul.

"FGD ini diinisiasi oleh Tim Pelaksana Program Pengabdian Masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM) Tahun 2025, di bawah kepemimpinan Dr. Rina Widiastuti. Kegiatan tersebut mempertemukan berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga para pemerhati sejarah dan masyarakat sekitar," lanjutnya.

Kegiatan kali ini, menjadi langkah awal dari program pengabdian jangka panjang tim tersebut yang akan berlangsung hingga tahun 2030.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved