Penerimaan Pajak Diperkirakan Lesu, Ekonom UGM: Ada Ketidakpercayaan Masyarakat ke Pemerintah

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Rijadh Djatu Winardi, S.E., M.Sc., Ph.D., CFE., melihat beberapa kendala yang dapat menghambat pencapaian target

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Dok. Istimewa
PAJAK LESU: Ilustrasi pajak. Ekonom UGM menyebut ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah seperti yang terlihat belakangan ini, juga turut mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar kewajiban mereka.  

Menurutnya, karena diluncurkan sejak tahun 2007, sistem ini tentu lebih mature dan established. 

Namun, Risjad meyakini  dengan segala perbaikan, Coretax bisa menjadi sistem seperti MyTax IRAS yang aman dan memungkinkan personalisasi serta informatif.

“Skala users yang berbeda antara Indonesia dan Singapura tentu tidak sama jika mau dibandingkan, sehingga jika sistem di Singapura bermasalah ya bisa ditangani dengan cepat,” ujar Risjad.

Selain itu, Rijadh kemudian menyoroti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang batal berlaku secara umum di tahun ini. 

Meskipun kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen diharapkan dapat memperkuat penerimaan negara dan mendukung pembangunan berkelanjutan, dari sudut pandang ekonomi, perlu dicermati lagi barang dan jasa mana yang bisa kemudian menimbulkan kenaikan harga di masyarakat. 

Ia justru memiliki kekhawatiran kenaikan PPN dapat berdampak pada inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat menengah ke bawah. 

Lain halnya dengan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) yang diterapkan untuk penghitungan Pajak Penghasilan 21 (PPh21) dengan tujuan untuk mempermudah dan menyederhanakan penghitungan pajak karyawan. 

Risjad beranggapan kemudahan perpajakan meskipun tidak menjadi penentu utama, diharapkan bisa mendorong kepatuhan pajak. 

Ia menambahkan, walaupun saat ini masih terlalu dini untuk menilai dampak penurunan penerimaan pajak terhadap perekonomian nasional, tetap saja jika target penerimaan berkurang secara signifikan tentu akan berdampak pada perekonomian nasional.

“Secara umum yang mungkin terjadi adalah penurunan belanja pemerintah, defisit anggaran yang kian melebar sehingga memaksa pemerintah untuk meningkatkan rasio utang, perlambatan pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat menurun, hingga ketidakstabilan ekonomi negara,” katanya. 

Risjad lalu menyampaikan solusi sumber penerimaan pajak alternatif apa yang bisa dijajaki oleh pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada PPN dan PPh untuk menjadi alternatif perluasan opsi penerimaan. 

Pertama adalah pajak kekayaan yang dikenakan pada nilai aset kekayaan seseorang. 

Besaran tarif pajak kekayaan umumnya di bawah angka 3,5 persen pada beberapa negara yang telah menerapkan pajak tersebut. 

Selanjutnya, optimalisasi kedua untuk penerimaan pajak bisa dilakukan pada pajak produksi batu bara. 

Pajak ini umumnya dihitung berdasarkan volume produksi batu bara yang dihasilkan. 

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved