Penerimaan Pajak Diperkirakan Lesu, Ekonom UGM: Ada Ketidakpercayaan Masyarakat ke Pemerintah
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Rijadh Djatu Winardi, S.E., M.Sc., Ph.D., CFE., melihat beberapa kendala yang dapat menghambat pencapaian target
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM - Pemerintah menetapkan target penerimaan pajak di tahun 2025 menjadi Rp2.189,3 triliun atau naik sekitar 13,29 persen dari realisasi penerimaan tahun 2024.
Meskipun pemerintah menargetkan angka tersebut setara dengan sembilan persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), namun melihat realisasi penerimaan pajak 2024 yang hanya mencapai target 97,2 persen, hal ini jelaslah bukan pekerjaan mudah.
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Rijadh Djatu Winardi, S.E., M.Sc., Ph.D., CFE., melihat beberapa kendala yang dapat menghambat pencapaian target tersebut.
“Potensi penurunan daya beli masyarakat masih menjadi ancaman nyata bagi perekonomian negara. Jika daya beli masyarakat melemah, tentu akan berdampak pada konsumsi dan pada akhirnya mempengaruhi penerimaan pajak dari sektor tersebut,” ungkapnya, Kamis (27/2/2025).
Menurutnya, adanya ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah seperti yang terlihat belakangan ini, juga turut mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam membayar kewajiban mereka.
Hal ini juga tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi upaya peningkatan penerimaan pajak.
“Pemerintah perlu bekerja keras dan menerapkan strategi yang tepat untuk mencapai target tersebut,” jelasnya.
Rijadh menilai ada beberapa faktor penghambat penerimaan pajak di awal tahun 2025 ini.
Salah satunya sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Core Tax Administration System (Coretax) sebagai sistem perpajakan baru di Indonesia, ditengarai sebagai salah satu penghambat yang harus segera dicarikan solusi.
Meskipun idenya sangat baik, yaitu untuk memperbaiki tax gap dan manajemen basis data perpajakan yang ada di Indonesia, sayangnya sejak peluncurannya di Januari silam, masih banyak kendala dan keluhan yang disampaikan terkait sistem baru tersebut.
Dia menilai, kapasitas dan arsitektur sistem Coretax belum didesain untuk skalabilitas tinggi, sehingga sistem mudah mengalami service disruptions ketika volume data melonjak.
“Infrastruktur server yang digunakan nampaknya belum dioptimalkan untuk menangani high-volume data processing dan kompleksitas transaksi perpajakan dalam skala besar,” jelasnya.
Ia mengambil contoh Singapura yang berhasil menggunakan sistem perpajakan serupa tanpa kendala berarti.
Singapura memiliki MyTax Portal Inland Revenue Authority of Singapore (MyTax IRAS) yang diluncurkan sejak 2007 silam.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah Meski Perang Dagang Amerika dan China Reda? Ini Kata Ekonom UGM |
![]() |
---|
Ekonom UGM Nilai Program Makan Bergizi Gratis Harus Tepat Sasaran Agar Tidak Boros Anggaran |
![]() |
---|
Ekonom UGM: Wacana Vasektomi sebagai Syarat Bansos Diskriminatif |
![]() |
---|
MBG Jogja Tersendat, Saran Ekonom UGM: Prioritaskan Daerah dengan Food Insecurity Tinggi |
![]() |
---|
Ekonom UGM Beberkan Alasan Kondisi Ekonomi Nasional Melambat: Masalah Kompleks yang Belum Selesai |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.