Kecemasan Mahasiswa Penerima KIPK setelah Isu Efisiensi: Tanpa Beasiswa Itu, Kuliah Hanya Mimpi

Isu efisiensi anggaran di Kemendiktisaintek mencuat, membawa kekhawatiran kemungkinan pemotongan dana KIPK. Linda tak bisa menyembunyikan rasa cemas

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
ist
MAHASISWA KHAWATIR: Foto Ilustrasi - Kampus UGM. Isu efisiensi anggaran di Kemendiktisaintek mencuat, membawa kekhawatiran mahasiswa soal kemungkinan pemotongan dana KIPK. 

“Isu seperti ini, saya kira, harus tetap dikawal bersama-sama biar gak tetiba ketok palu,” kata Linda.

Ia kini sudah berada di akhir perjalanan studinya.

Skripsi menanti, dan masa depan yang lebih baik tampak semakin dekat. Dengan kabar KIPK tidak terdampak efisiensi anggaran, dia pun bisa bernafas lega.

“Pendidikan harusnya jadi prioritas utama dan tidak bisa diganggu gugat. Melalui pendidikan, saya yakin akan banyak melahirkan generasi unggulan,” pungkas Linda.

Asa mahasiswa pelosok

Tak berbeda jauh dengan Linda, Moses Patibang (19) juga mengalami kecemasan yang luar biasa ketika ada isu efisiensi yang berdampak pada anggaran KIPK.

Moses adalah mahasiswa perantauan dari Makassar, Sulawesi Selatan. Dari sebuah rumah kayu yang berdiri sunyi di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja, Moses tumbuh dengan harapan besar. 

Menuju ke rumahnya, butuh sembilan jam perjalanan darat menuju Makassar, dan lebih jauh lagi untuk sampai ke Yogyakarta, tempat ia kini berkuliah di UGM.

Rumahnya masuk ke dalam hutan kecil yang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki melewati jalan setapak berbatu yang licin, hampir tanpa penerangan, dan berlumpur.

Bagi Moses, pendidikan adalah impian yang dijalani dengan perjuangan.

Ia kini tercatat sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) UGM angkatan 2024, sekaligus penerima KIPK.

Tanpa bantuan KIPK, kuliah di kampus ternama seperti UGM hanyalah angan. Maka, saat mendengar kabar kemungkinan pemotongan anggaran KIPK, perasaannya langsung jatuh.

“Jujur, saya sangat down,” katanya.

“Kalau benar terjadi pemotongan, 663.821 mahasiswa penerima KIPK bisa terancam berhenti kuliah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana orangtua kami harus banting tulang demi anaknya bisa tetap berkuliah, apalagi mereka yang berasal dari daerah pesisir atau pelosok dengan ekonomi yang belum stabil,” ungkapnya.

Ribuan mahasiswa dengan latar belakang serupa, datang dari desa-desa terpencil, keluarga dengan penghasilan pas-pasan, juga bertanya-tanya: apakah mereka masih bisa melanjutkan pendidikan?

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved