PMK Merebak di DIY, Berikut Cara Mendiagnosis, Mencegah dan Mengobati dari Praktisi Veteriner

Sejumlah daerah, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), melaporkan peningkatan kasus PMK yang dapat merugikan para peternak. 

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Muhammad Fatoni
Dok Drh. Antonia Agnes
Ilustrasi : Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Merebak di DIY, Berikut Cara Mendiagnosis, Mencegah, dan Mengobati dari Praktisi Veteriner. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) kembali menjadi perhatian besar di Indonesia, khususnya di sektor peternakan.

Sejumlah daerah, termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), melaporkan peningkatan kasus PMK yang dapat merugikan para peternak. 

Dalam konteks ini, Drh Antonia Agnes, seorang dokter hewan yang berpraktik di Klinik Quantum Jogja, berbagi pengetahuan mengenai penyakit yang mengancam kesehatan ternak ini. 

Drh. Antonia memberikan pemahaman mendalam tentang penyebab, penularan, diagnosis, hingga langkah pencegahan yang bisa diambil untuk mengatasi PMK.

Dijelaskannya, PMK disebabkan oleh virus Aphtovirus, yang masuk dalam keluarga Picornaviridae.

Penyakit ini dapat menular dengan sangat cepat dan melalui berbagai cara. Penularan dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. 

Secara langsung, virus ini dapat menyebar melalui udara atau aerosol yang keluar dari hewan yang terinfeksi saat bernapas, batuk, atau bersin.

Virus juga dapat menyebar melalui interaksi fisik antara hewan yang sakit dan yang sehat, serta kontak dengan bahan-bahan yang terkontaminasi seperti feses, muntahan, atau daging yang terinfeksi.

Baca juga: Cerita Peternak Gunungkidul yang Harus Merugi dan Terlilit Utang  Imbas Wabah PMK 

Drh. Antonia menjelaskan bahwa penularan tidak hanya terjadi antar hewan, tetapi juga dapat melibatkan manusia. 

Virus ini dapat bertahan di saluran pernapasan manusia selama 1 hingga 2 hari dan berpotensi menularkan penyakit ke tempat lain apabila akses manusia tidak diawasi dengan ketat.

Pakaian, sepatu, dan peralatan kandang yang terkontaminasi virus dapat menjadi media penyebaran.

Bahkan, kendaraan yang digunakan untuk membawa hewan sakit juga berisiko menularkan PMK ke daerah lain.

Masa inkubasi

PMK bervariasi tergantung pada spesies hewan yang terinfeksi.

Pada sapi dan kerbau, masa inkubasi berkisar antara 2 hingga 14 hari.

Pada kambing dan domba, masa inkubasinya lebih pendek, yakni 3 hingga 8 hari, sementara pada babi, masa inkubasi dapat kurang dari 2 hari.

Adapun pada rusa dan hewan berkuku belah lainnya, masa inkubasinya juga bervariasi.

"Gejala PMK pada hewan ternak umumnya cukup mudah dikenali. Biasanya, gejala pertama yang muncul adalah munculnya lepuh atau vesikel pada bagian-bagian tubuh yang sering terpapar, seperti bibir, lidah, palatum (langit-langit mulut), gusi, moncong, dan bahkan pada antara kuku atau ambing. Hewan yang terinfeksi juga akan menunjukkan tanda-tanda kesakitan yang jelas seperti tidak mau makan, lemas, dan bahkan ambruk," ujarnya.

Selain itu, hewan yang terinfeksi PMK akan mengalami demam yang cukup tinggi, bahkan bisa mencapai 42 derajat celcius.

Gejala lainnya termasuk keluarnya air liur yang berlebihan (hipersalivasi), pincang, dan sering kali terjadi keguguran pada hewan betina yang sedang hamil.

Dalam beberapa kasus, kematian mendadak dapat terjadi akibat ketidakmampuan hewan untuk makan atau bertahan hidup.

Untuk memastikan apakah hewan benar-benar terinfeksi PMK, prosedur diagnosis dilakukan melalui nekropsi (bedah bangkai) atau pengambilan sampel lesi untuk diuji di laboratorium.

Uji identifikasi virus dapat membantu menegakkan diagnosis dan memastikan adanya infeksi Aphtovirus.

Tindakan Pencegahan dan Pengendalian Penyebaran PMK

Pencegahan penyebaran PMK sangat bergantung pada penerapan langkah-langkah biosecurity yang ketat.

Drh. Antonia mengingatkan bahwa biosecurity adalah langkah pertama dan paling penting untuk menghindari penyebaran penyakit ini. 

Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah pembatasan akses bagi manusia, kendaraan, serta hewan yang keluar masuk kandang sangat penting untuk mengurangi potensi penyebaran virus.

"Kandang dan peralatan yang digunakan harus didesinfeksi secara rutin. Desinfektan yang efektif untuk virus PMK antara lain sodium hydroxide, sodium carbonate, dan asam sitrat. Peternak juga bisa membuat desinfektan sendiri dengan mencampurkan Bayclean dengan air, yang dapat digunakan untuk menyemprotkan kandang, area sekitar hewan, serta peralatan yang digunakan," paparnya.

"Setiap orang yang keluar masuk kandang harus mencuci pakaian, sepatu, dan perlengkapan lainnya. Ponsel juga harus dibersihkan dengan sanitizer, atau bahkan dibungkus dengan plastik agar tidak membawa virus keluar dari kandang. Selanjutnya, plastik tersebut harus dibakar," tambahnya.

Drh. Antonia juga menyarankan agar pemilik ternak memperhatikan hewan peliharaan yang sering keluar masuk kandang.

Hewan peliharaan ini bisa menjadi pembawa virus PMK tanpa menunjukkan gejala apapun.

Pengobatan PMK pada dasarnya lebih bersifat suportif, mengingat belum ada obat spesifik yang dapat menyembuhkan penyakit ini secara langsung.

Namun, vaksinasi merupakan salah satu langkah penting dalam pencegahan penyebaran PMK. Saat ini, vaksin untuk PMK sudah tersedia dan dapat diakses oleh peternak dengan menghubungi dinas setempat atau puskeswan terdekat.

"Vaksinasi sangat penting, namun tidak cukup hanya dengan vaksinasi. Penerapan langkah-langkah biosecurity yang ketat harus tetap dijaga untuk mengurangi risiko penyebaran PMK," ujar Drh. Antonia.

Dampak Ekonomi dan Produktivitas Ternak

PMK tidak hanya mengancam kesehatan ternak, tetapi juga memberikan dampak besar terhadap produktivitas peternakan.

Drh. Antonia menegaskan bahwa PMK dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar di sektor peternakan, terutama pada hewan yang menghasilkan susu dan daging.

Kehilangan akibat kematian hewan sangat signifikan, terutama jika hewan tersebut tidak mau makan dan akhirnya mati.

Selain itu, efek pasca-sakit juga dapat mempengaruhi produktivitas hewan yang sembuh.

Pada sapi, virus PMK dapat bertahan di jaringan pharyngeal selama 6 hingga 24 bulan, bahkan hingga 3,5 tahun. 

"Hewan yang sembuh dapat menjadi pembawa virus (carrier) dan menularkannya ke hewan lain. Pada domba dan kambing, virus ini juga dapat bertahan di jaringan pharyngeal selama 4 hingga 12 bulan. Sementara pada babi, hewan yang sembuh tidak menjadi carrier dan tidak menularkan virus," ujarnya.

Pencegahan dan pengendalian PMK memerlukan kolaborasi antara berbagai pihak, mulai dari pemerintah, dinas terkait, hingga peternak. 

"Penyebaran PMK sangat dipengaruhi oleh pergerakan hewan antar daerah. Oleh karena itu, pembatasan lalu lintas hewan dan karantina bagi hewan yang baru masuk kandang harus dilakukan dengan tegas," kata Drh. Antonia.

Diberitakan sebelumnya, wilayah DIY tengah menghadapi lonjakan kasus PMK, dengan Gunungkidul menjadi daerah yang paling parah terdampak.

Data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) DIY menunjukkan bahwa terdapat 948 kasus PMK di wilayah ini, dengan 672 kasus terjadi di Gunungkidul. 

Sebanyak 30 ekor sapi mati, dan 27 ekor lainnya harus dipotong paksa untuk menghindari penyebaran lebih lanjut.

Wilayah lain yang terdampak adalah Sleman, dengan 103 kasus dan 8 ekor sapi mati, serta Bantul yang mencatatkan 161 kasus dengan 25 ekor sapi mati. Kulon Progo melaporkan 11 kasus, sementara Kota Yogyakarta tercatat nihil kasus PMK.

Kepala DPKP DIY, Syam Arjayanti, menegaskan bahwa meskipun vaksinasi massal telah dilakukan pada tahun 2022, pergerakan hewan antar daerah tetap menjadi penyebab utama penyebaran penyakit ini. 

"Kami terus melakukan pemantauan dan koordinasi dengan berbagai pihak untuk meminimalkan dampak dari wabah PMK," ujar Syam Arjayanti.

Dengan penerapan langkah-langkah pencegahan yang tepat dan kerjasama antar pihak terkait, diharapkan penyebaran PMK dapat dikendalikan dan sektor peternakan di Indonesia dapat pulih kembali. 

Drh. Antonia menekankan bahwa kesadaran dan kewaspadaan peternak, bersama dengan upaya pemerintah, sangat dibutuhkan untuk mengurangi dampak dari penyakit ini dan menjaga keberlanjutan industri peternakan. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved