Pakar UGM Sebut Indonesia Alami Kemunduran Demokrasi jika PDIP Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran
PDIP belum menentukan sikap gamblang terkait posisi di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Hingga hari ini, Rabu (16/10/2024), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belum menentukan sikap gamblang terkait posisi di pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming.
Posisi PDIP, akankah bergabung atau berada di luar pemerintahan, bakal ditentukan oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri sesuai dengan hasil rapat kerja nasional (rakernas) partai.
Meski Pramono Anung, politisi senior PDIP yang juga Calon Gubernur DKI Jakarta sempat berkunjung ke rumah Prabowo di Kertanegara, Jakarta saat prosesi pemanggilan menteri, tapi kunjungan itu diklaim bukan menjadikan Pramono Anung sebagai bagian dari kabinet, melainkan hanya menyampaikan pesan dari Megawati.
Lantas bagaimana jika PDIP benar-benar memilih untuk menjadi bagian dari kabinet Prabowo-Gibran?
Pakar politik dan demokrasi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Arga Pribadi Imawan, mengatakan jika PDIP benar-benar berada di pemerintahan, maka itu menjadi kemunduran demokrasi atau democratic backsliding di Indonesia.
Menurutnya, itu semakin nyata terlihat dari situasi politik saat ini, terutama setelah mayoritas partai politik bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Mayoritas partai politik yang mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran menjadi indikator bahwa kemunduran demokrasi di Indonesia benar-benar terjadi,” ungkap Arga kepada Tribun Jogja, Rabu (16/10/2024).
Salah satu tanda yang paling jelas, kata Arga, adalah tidak adanya partai politik yang benar-benar berperan sebagai oposisi yang efektif.
Baca juga: Bawaslu DIY Gelar Rakor Pengelolaan Data, Ini Daftar Kasus Dugaan Pelanggaran Pilkada 2024
Ia juga merujuk pada studi yang dipresentasikan dalam Konvensi American Political Science Association (APSA) tahun ini, yang menunjukkan bahwa kondisi semacam ini tidak menciptakan demokrasi yang sehat.
“Tidak adanya oposisi membuat keseimbangan politik hilang. Ini tidak mengarahkan pada demokrasi yang sehat, melainkan sebaliknya,” tambah Arga.
Lebih lanjut, Arga menyoroti pola relasi antara legislatif dan eksekutif di bawah pemerintahan saat ini.
Ia menggambarkannya sebagai hubungan yang oportunis, di mana partai-partai politik akan melakukan kalkulasi untung-rugi jika mendukung kebijakan eksekutif, terutama yang bersifat populis seperti program makanan gratis.
“Dalam politik, partai pasti akan melakukan kalkulasi untuk memaksimalkan keuntungan yang didapat jika mendukung kebijakan eksekutif. Program populis seperti makanan gratis tentunya menarik dukungan,” jelas Arga.
Saat ini, dari lima partai yang mendulang suara terbanyak di Pemilu 2024, hanya PDIP yang belum bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
Hal ini menjadikan mayoritas partai di parlemen mendukung pemerintah, sehingga membuat PDIP terlihat seperti melawan mayoritas partai politik yang mendukung Prabowo-Gibran.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.