Pilkada 2024

DPR Revisi UU Pilkada, Dosen Hukum UII: Pembangkangan Konstitusi

Parpol yang membangkang konstitusi dapat diusulkan untuk dibubarkan karena tidak sejalan dengan demokrasi dan negara hukum.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Pixabay.com / succo
Ilustrasi 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tiba-tiba memiliki ide untuk merevisi Undang-undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Rabu (21/8/2024).

Revisi UU Pilkada ini dilakukan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang melonggarkan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik peserta pemilu, kemarin Selasa (20/8/2024).

MK juga mengeluarkan putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang syarat usia calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon.

Dua putusan itu pun tidak diakomodasi oleh DPR dalam rapat badan legislatif hari ini, Rabu (21/8/2024). Menanggapi hal tersebut, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Allan FG Wardhana mengatakan apa yang dilakukan DPR adalah bentuk pembangkangan konstitusi.

“Itu merupakan pembangkangan terhadap putusan MK. Partai politik (Parpol) tidak patuh terhadap putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Pembangkangan terhadap putusan MK ini juga berarti pembangkangan terhadap konstitusi,” kata Allan kepada Tribun Jogja, Rabu (21/8/2024).

Dia mengatakan, parpol yang membangkang konstitusi dapat diusulkan untuk dibubarkan karena tidak sejalan dengan demokrasi dan negara hukum.

Putusan MK, kata dia, sudah diabaikan dan dimaknai sesuai dengan kepentingan jangka pendek.

“Dampak sosialnya, ini akan muncul public distrust atau ketidakpercayaan publik. Masyarakat semakin tidak percaya dengan parpol dan berujung pada legitimasi pilkada,” ungkapnya.

Menurut Allan, masyarakat juga bisa melakukan pembangkangan sipil karena proses pilkada tak sesuai dengan konstitusi.

Sedangkan, dampak hukumnya adalah hasil pilkada yang tidak sesuai dengan putusan MK berpotensi besar untuk dianulir.

Perlu diingat, MK adalah institusi yang berwenang mengadili sengketa pilkada sehingga calon kepala daerah yang diproses menggunakan undang-undang inkonstitusional berpotensi didiskualifikasi.

Dia menjelaskan, seharusnya, putusan MK langsung ditindaklanjuti untuk perumusan norma sesuai putusan MK.

Dengan begitu, tidak ada pilihan, apakah akan mengikuti putusan MK atau putusan Mahkamah Agung (MA) yang sempat mengatur syarat usia calon kepala daerah ditentukan pada saat pelantikan calon terpilih, seperti yang dikatakan pimpinan rapat Achmad Baidowi.

Putusan MK tidak bisa dibenturkan dengan putusan MA karena putusan MK adalah pengujian konstitusionalitas norma UU terhadap Undang-undang Dasar (UUD).

Putusan MK harus dipedomani semua pihak, tidak ada terkecuali. Allan menyebut, kini masih ada peluang agar UU Pilkada tidak disahkan.

“Sekarang, kalau gak salah, sedang pembahasan. Itu masih ada peluang, pemerintah harus menarik diri dari pembahasan agar UU Pilkada tidak dilanjutkan,” ungkapnya.


Akan tetapi, jika pemerintah saja sudah sepakat, berarti yang bisa diupayakan adalah uji formil.

“Bisa mendorong parpol nonkursi/parlemen untuk ajukan uji formil terhadap UU Pilkada nantinya. Uji formil ini untuk membatalkan keabsahan UU Pilkada yang baru karena tak sesuai dengan amar putusan MK. Ramai-ramai diajukan judicial review terutama mereka parpol yang dirugikan langsung,” bebernya.

Ditanya apa yang bisa dilakukan masyarakat, Allan menjelaskan, masyarakat bisa melakukan apa saja untuk menghadang pengesahan UU Pilkada.

“Bisa ikut judicial review, bisa demonstrasi, bisa protes. Intinya adalah menolak segala bentuk pembangkangan terhadap putusan MK dan melawan oligarki parpol pemburu kekuasaan,” tukas dia. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved