Pilkada 2024

MK Ubah Syarat Pilkada, Eep Saefulloh Fatah: Ini Semilir Angin Segar

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menyelaraskan ambang batas pencalonan untuk calon dari jalur partai politik.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Tribunjogja.com/Ardhike Indah
CEO PolMark Research Center, Eep Saefulloh Fatah ditemui di Gedung Yayasan Badan Wakaf, UII Yogyakarta, Selasa (20/8/2024). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menyelaraskan ambang batas pencalonan untuk calon dari jalur partai politik.

Ambang batas disesuaikan dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) masing-masing daerah.

Untuk provinsi dengan DPT mencapai 2 juta orang, ambang batas 10 persen.

Provinsi dengan 2-6 juta orang DPT menerapkan ambang batas 8,5 persen.

Provinsi dengan 6-12 juta orang di DPT memakai ambang batas 7,5 persen.

Lalu ambang batas 6,5 persen berlaku di provinsi dengan DPT di atas 12 juta orang.

Di kabupaten/kota, ambang batas 10 persen berlaku di wilayah dengan DPT hingga 250 ribu orang.

Lalu ambang batas 8,5 persen untuk wilayah 250 ribu-500 ribu orang di DPT, 7,5 persen untuk daerah 500 ribu-1 juta orang di DPT, dan 6,5 persen untuk wilayah dengan DPT lebih dari 1 juta orang.

CEO PolMark Research Center, Eep Saefulloh Fatah menjelaskan, secara umum selama ini ada anggapan bahwa MK semakin sulit untuk diharapkan menjadi benteng keadilan bangsa.

“Mereka jadi salah satu bagian dari instrumen politik yang digunakan secara sempit. Ketika keluar keputusan seperti ini, saya jadi melihat seperti ada semilir angin segar,” kata Eep ditemui usai agenda Srawung Demokrasi #1 di Gedung Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa (20/8/2024).

Dia menjelaskan mengapa MK menjadi semilir angin karena di banyak tempat, ada mobilisasi partai politik yang mengancam partisipasi, kebebasan dan kompetisi di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Adanya ancaman itu membuat setiap orang memiliki pilihan terbatas untuk calon pemimpin mereka.

“Demokrasi itu prosesnya ada tiga fase, yaitu seleksi, eleksi dan delivery. Ketiganya sama penting. Kalau partai kemudian memberlakukan secara tidak demokratis seleksi orang yang kita pilih, hanya menghasilkan satu pasang lawan kotak kosong atau pasangan calon (paslon) boneka, itu sudah memangkas 1/3 demokrasi,” beber dia.

Maka dari itu, menurut dia, keputusan MK menjadi oase di tengah padang pasir karena pemasungan yang sedang terjadi di tingkat seleksi sedang diterobos MK.

“Ini menciptakan peluang baru untuk partai PDIP misalnya. Mereka jadi punya kesempatan untuk mengusung kandidat sendirian tanpa membangun koalisi di Jakarta dan itu berita baik,” tukasnya. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved