Kadar Air Terlalu Tinggi, RDF Hasil Pengolahan Sampah di Kota Yogyakarta Ditolak Industri

Penolakan dilatarbelakangi oleh spesifikasi RDF yang dinilai belum memenuhi persyaratan.

Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUN JOGJA/AZKA RAMADHAN
Pengolahan sampah menjadi produk RDF yang digulirkan di TPS 3R Kranon, Kota Yogyakarta. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta mulai melakukan proses pengolahan sampah menjadi produk Refuse Derived Fuel (RDF).

Namun, dalam proses pemasarannya, eksekutif ternyata sempat mengalami penolakan, meski kerja sama dengan industri atau pabrik semen di beberapa daerah telah terjalin.

Sebagai informasi, RDF berasal dari pengolahan sampah yang mudah terbakar dan memiliki nilai kalor tinggi.

RDF digunakan sebagai alternatif sumber energi oleh industri, yang dalam prosesnya terdapat pembakaran menggunakan bahan bakar fosil layaknya batubara.

Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Yogyakarta, Aman Yuriadijaya, mengatakan penolakan dilatarbelakangi oleh spesifikasi RDF yang dinilai belum memenuhi persyaratan.

Salah satunya, karena RDF yang dikirim dari Kota Yogyakarta dianggap memiliki kadar air yang terlalu tinggi.

"Kita kemarin bawa (RDF) ke industri skala 1 di Cilacap, di-reject. Setelah itu, kita bawa ke Pasuruan, 16 jam perjalanan bolak-balik, tapi di-reject lagi," tandasnya, Senin (5/8/2024).

Aman pun menyabut, tingginya kadar air disebabkan oleh bercampurnya sampah organik dan anorganik yang diolah di empat TPS 3R milik Pemkot Yogyakarta.

Baca juga: Tekan Timbunan Sampah Plastik Sekali Pakai, Pemkot Yogyakarta Terbitkan Perwal Baru

Menurutnya, pengolahan sampah di TPS 3R Nitikan, Kranon, Karangmiri, serta Sitimulyo, semua mengarah pada produk alternatif energi industri yang dinamakan RDF tersebut.

"Kalau bicara energi, berarti terkait kalori. Tapi, kalau sebagian besar sampah yang kita kelola itu adalah organik, maka produk akhirnya tidak bisa disalurkan (ke industri)," ungkapnya.

Dijelaskannya, dari total produksi sampah harian di Kota Yogyakarta sebesar 200 ton, 60 persen di antaranya merupakan limbah organik.

Oleh sebab itu, melalui program Organikkan Jogja, pihaknya mendorong masyarakat supaya ikut berperan aktif membantu pemerintah, dengan memilah sampah sejak dari sumbernya.

"Sisa dapur, yang namanya sisa makanan itu, jangan dibawa ke depo, tapi dikelola sendiri. Kita sudah ada pelatihan pengolahan sampah dengan metode biopori skala rumah tangga," terangnya.

Terlebih, sejak bulan lalu, Pemkot Yogyakarta juga sudah menerapkan jadwal pembuangan di seluruh depo, sehingga sampah residu organik dan anorganik tidak bisa dibuang secara bersamaan.

Dengan kondisi sampah yang sudah terpilah, ia meyakini, proses pengolahan di unit-unit pengelolaan bakal berlangsung lebih optimal.

"Sekarang bisa dilihat, di depo-depo itu sudah ada pengumumannya. Kalau pas hari residu organik, yang boleh dibuang hanya residu organik," cetusnya.

"Yang dimaksud residu organik itu, sampah di luar organik basah. Misalnya, daun, atau suket (rumput), yang relatif lebih kering dan punya nilai kalori," pungkas Aman. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved