Batik Pakualaman, Perpaduan Tradisi, Sastra dan Wastra yang Penuh Filosofi

Setiap motif Batik Pakualaman memiliki filosofi yang mendalam, mencerminkan nilai-nilai budaya, sejarah, dan spiritual masyarakat Pakualaman. 

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Muhammad Fatoni
Dok. Humas Pemda DIY
Pengenalan buku Batik Pakualaman: Antara Tradisi, Sastra dan Wastra oleh GKBRAA Paku Alam di Bangsal Kepatihan Pakualaman pada Kamis (4/7/2024) kemarin. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Batik bukan hanya kain bermotif indah, tetapi juga warisan budaya yang sarat makna.

Hal ini tercermin dalam Batik Pakualaman, sebuah gagrak batik yang terinspirasi dari naskah-naskah kuno yang tersimpan di Puro Pakualaman Yogyakarta. 

Setiap motif Batik Pakualaman memiliki filosofi yang mendalam, mencerminkan nilai-nilai budaya, sejarah, dan spiritual masyarakat Pakualaman

Motif-motif ini terbagi dalam beberapa kategori, seperti seri Asthabrata yang menggambarkan delapan sifat luhur yang harus dimiliki seorang pemimpin, seperti bijaksana, adil, dan berani. 

Ada juga seri Nges Ruming Puri yang menggambarkan kehidupan dan nilai-nilai luhur di dalam Puro Pakualaman.

Selanjutnya, seri Pepadan yang menggambarkan filosofi tentang pernikahan dan kehidupan berumah tangga serta seri Piwulang Estri mengandung pesan-pesan moral dan budi pekerti luhur bagi perempuan.

Hal tersebut terungkap dalam Pengenalan buku Batik Pakualaman: Antara Tradisi, Sastra dan Wastra oleh GKBRAA Paku Alam di Bangsal Kepatihan Pakualaman pada Kamis (4/7) kemarin.

"Sebenarnya, buku ini sudah lama dicetuskan idenya, namun terkendala karena waktu dimana saya, bu Sakti dan pak Widyo tidak bisa bersatu untuk bertemu. Namun demikian, akhirnya alhamdulillah pada sore hari ini kita bertemu untuk melaksanakan pengenalan Buku Batik Pakulaman," tutur Gusti Putri saat memberi sambutan. 

Baca juga: Nostalgia Jajanan Tradisional Tempo Dulu di Pasar Sewandanan di Kadipaten Pakualaman

Berawal dari pandangan mata akhirnya jatuh ke hati.

Ungkapan itu secara tepat menggambarkan apa yang terjadi pada Gusti Putri ketika berkali-kali menyaksikan gelaran kain batik

Proses kecintaan itu telah terpupuk sejak kecil dihati Gusti Putri. 

Perasaan itu semakin berkembang ketika Gusti Putri berkesempatan membuka lembar demi lembar manuskrip kuno yang tersimpan di Widyapustaka, Perpustakaan Pakualaman Yogyakarta.

"Karena naskah-naskah tersebut itu bukan cetakan, tapi ditulis tangan dan gambarnya juga digambar pakai tangan, jadi setiap lembar naskah itu digambar dengan luar biasa bagusnya dan mempunyai filosofi-filosofi yang luar biasa, yang saya fikir kenapa saya tidak mensosialisasikan filosofi-filosofi yang ada di naskah tersebut dengan media batik," tutur Gusti Putri. 

"Saya senang batik dan kecintaan itu tumbuh dari keluarga yang suka membatik. Eyang-eyang saya dulu dari Batang, Pekalongan, eyang saya membatik. Itulah mengapa saya senang membatik. pada akhirnya saya menjadi menantu dalem KGPAA Paku Alam IX dan beliau bersama ibu pada waktu itu menyuruh saya untuk memanfaatkan Bangsal Batikan yang sudah tidak digunakan," terang Gusti Putri. 

"Saya terbesit kenapa sih nggak Batik Pakualaman. Akhirnya dengan tim, kita merasa bahwa ayolah kita menggunakan bangsal batikan itu benar-benar untuk membatik,"ungkap Gusti Putri. 

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved