Gerebeg Besar Keraton Yogyakarta, Perwujudan Rasa Syukur dan Kepedulian

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menyelenggarakan tradisi Garebeg Besar dalam rangka memperingati Hari Raya Iduladha 1445 H/Tahun Jimawal 1957

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
Warga berebut ubo rampe gunungan dalam acara Gerebeg Besar Keraton Yogyakarta di Pelataran Masjid Gedhe Kauman, Selasa (18/6/2024). 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menyelenggarakan tradisi Garebeg Besar dalam rangka memperingati Hari Raya Iduladha 1445 H/Tahun Jimawal 1957, Selasa (18/6/2024), yang terbagi di empat lokasi.

Rangkaian kegiatan telah diawali Gladi Resik Prajurit jelang Garebeg Besar, Sabtu (15/06/2024) dan Numplak Wajik pada hari yang sama. Puncak acara yaitu Hajad Dalem Garebeg Besar di Keraton- Kagungan Dalem Masjid Gedhe, Pura Pakualaman, Kepatihan, dan Ndalem Mangkubumen.

Dari pantauan Tribun Jogja, kemeriahan tradisi Garebeg Besar tahun ini terlihat dari antusiasme masyarakat yang memadati kompleks Keraton Yogyakarta hingga Pelataran Masjid Gedhe.

Momen yang paling ditunggu-tunggu adalah pembagian gunungan dan pareden, satu di antaranya oleh Siti (58) warga Bangunjiwo, Kasihan, Bantul yang sejak pagi telah menanti bersama sang suami.

Siti, bersama dengan ratusan masyarakat lainnya berebut dengan penuh semangat untuk mendapatkan isi gunungan.

"Diyakini, barang siapa yang mampu mendapatkan isi dari gunungan tersebut maka akan mendapatkan berkah," ungkap Siti.

Siti berujar, antusiasme masyarakat dalam mengikuti tradisi Garebeg Besar menunjukkan bahwa tradisi ini masih memiliki nilai dan makna yang penting bagi masyarakat.

Ia pun berharap, tradisi ini dapat terus dilestarikan dan menjadi bagian dari budaya bangsa yang harus dijaga dan diwariskan kepada generasi muda.

Baca juga: Grebeg Syawal Wonolelo Dilirik Wisatawan Asing, Bupati Halim : Bagi Mereka Unik

Penghageng II KHP Widyabudaya KRT Rintaiswara menyampaikan, di balik kemeriahannya tradisi Garebeg Besar memiliki makna filosofis yang mendalam, yakni simbol rasa syukur Keraton Yogyakarta atas limpahan rezeki dari Allah SWT dan bentuk kepedulian terhadap rakyat.

Garebeg yang dilakukan di Keraton adalah Hajad Dalem, sebuah upacara budaya yang diselenggarakan oleh Keraton dalam rangka memperingati hari besar agama Islam yakni Idulfitri, Iduladha, dan Maulid Nabi Muhammad SAW.

"Gunungan mewakili kemakmuran Keraton dan rasa syukur atas rezeki yang berlimpah. Pembagiannya melambangkan sedekah raja dan kepedulian terhadap rakyat," terangnya.

"Sementara Pareden atau tumpukan makanan yang ditata artistik, melambangkan rasa syukur dan doa untuk keselamatan, kesejahteraan, serta kemakmuran. Tradisi ini juga menanamkan nilai-nilai luhur seperti kesabaran, keikhlasan, rasa hormat, dan gotong royong," tambahnya.

"Dalam pendapat lain dikatakan bahwa Garebeg atau yang umumnya disebut “Grebeg” berasal dari kata “gumrebeg”, mengacu kepada deru angin atau keramaian yang ditimbulkan pada saat berlangsungnya upacara tersebut,” jelasnya.

Sejatinya, masyarakat dalam memperoleh Gunungan pada konsep awalnya memang nyadhong/menunggu giliran untuk mendapatkannya.

"Ini merupakan perlambang kesabaran manusia. Berbeda dengan merayah, karena kesannya yang kuat pasti yang akan mendapatkan dahulu," sambung Kawedanan Widya Budaya, KRT Widyacandra Ismayaningrat.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved