Pemilu 2024

Sineas Muda di Yogyakarta Luncurkan Film Series 'Tahu Gibran?', Ajak Masyarakat Melek Politik

Pemilihan nama Gibran sebagai tokoh utama tidak berkaitan dengan sosok cawapres Prabowo Subianto yakni Gibran Rakabuming Raka.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Gaya Lufityanti
Tribunjogja.com/Hanif Suryo
Peluncuran film series bertajuk 'Tahu Gibran?' di Sleman Creative Space, Sabtu (16/12/2023). 

TRIBUNJOGJA.COM- Sutradara muda asal Yogyakarta, Arifin Notonegoro, beserta sejumlah sineas muda lainnya merilis film series bertajuk 'Tahu Gibran?' di Sleman Creative Space, Sabtu (16/12/2023).

Pada season pertama ini, 'Tahu Gibran?' yang akan tayang berkala di Youtube, merilis langsung 7 episode dengan durasi masing-masing sekira 5 menit.

Arifin Notonegoro mengungkapkan, tahu dipilih sebagai narasi dalam film series ini lantaran makanan yang dibuat dari endapan perasan biji kedelai yang mengalami koagulasi tersebut adalah makanan rakyat serta diproduksi oleh rakyat yakni UMKM.

"Tahu mirip seperti makna demokrasi. Sehingga bisa menggambarkan esensi demokrasi. Dari, oleh dan untuk rakyat. Tahu adalah makanan yang tidak saja sehat dikonsumsi, namun juga sehat untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Ribuan masyarakat mendapatkan berkah ekonomi dari tahu, sejak dari hulu hingga hilir. Dari produksi tahu, hingga perdagangan dan beragam varian kuliner berbahan tahu. Tahu yang baik justru dibuat dari bahan baku kedelai lokal, bukan kedelai impor. Ini juga menunjukkan nilai kedaulatan pangan," ujar Arifin.

Namun ia menegaskan, pemilihan nama Gibran sebagai tokoh utama tidak berkaitan dengan sosok cawapres Prabowo Subianto yakni Gibran Rakabuming Raka.

Baca juga: Gibran Rakabuming Raka Siap Debat Ala Amerika

"Hanya kebetulan saja, tokoh dan cerita hanyalah fiktif," ujarnya.

Produser 'Tahu Gibran?', Setiya, menambahkan, tahu yang dimaksud dalam film series ini juga bermakna mengetahui, mengerti, memahami. 

"Suatu nilai yang semestinya dimiliki semua pihak dalam berdemokrasi. Tidak saja dimiliki oleh rakyat namun juga para politisi, khususnya calon wakil rakyat. Nilai yang terus menerus perlu di upgrade dari waktu ke waktu. Tahu apa makna dari pemilu Tidak sedikit masyarakat yang masih belum cukup tahu arti penting dari pemilu," terangnya.

Lebih lanjut Setiya menambahkann, wajar bila kemudian terjadi salah paham, karena memang belum cukup paham.

Sementara Pemilu adalah manifestasi dari kedaulatan rakyat selama lima tahun, masih dipahami sebagai transaksi jangka pendek. 

"Pemilu juga bisa digunakan untuk memberikan hukuman politisi yang tidak amanah, dengan tidak memilih lagi. Namun kenyataannya memori masyarakat sangat pendek, sehingga hukuman berubah menjadi dukungan kembali, hanya karena pemberian beberapa rupiah. Tahu siapa yang akan dipilih Menjelang masa pemilihan nyatanya masih banyak, masyarakat pemilih yang belum tahu siapa saja calon yang tersedia untuk dipilih," terang Setiya.

"Tahu saja belum, bagaimana bisa menilai dan membandingkan diantara calon tersebut mana yang paling bisa mewakili kepentingan rakyat. Apalagi dengan pemilu serentak, ada lima calon yang harus dipilih, tidak sedikit masyarakat yang merasa kebingungan. Akhirnya memilih yang uangnya datang," tambahnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, fenomena yang muncul belakangan ini ialah rakyat yang dihadapkan pada kondisi yang tidak mudah.

Hari-hari dimana rakyat membutuhkan biaya hidup yang semakin besar. 

Sementara lima tahun sekali para calon legislator menebar uang. Masa tidak diterima? Apalagi seringkali dibungkus dengan narasi sedekah, uang transport dan seterusnya. Tentu tidak bijak untuk mengajak rakyat menolak pemberian tersebut. Silakan saja diterima, bila memang membutuhkannya. 

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved