BKKBN dan DPR RI Gelar Sosialisasi KIE Bangga Kencana: Cegah Stunting, Demi Songsong Indonesia Maju

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bersama mitra kerja anggota Komisi IX DPR RI, H. Sukamto SH kembali menggelar sosialisasi

Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM/Ahmad Syarifudin
Sosialisasi Komunikasi informasi dan Edukasi (KIE) program bangga kencana BKKBN bersama mitra kerja komisi IX DPR RI H. Sukamto SH di Balai Aspirasi Masyarakat, Kalurahan Sinduadi, Mlati Kabupaten Sleman, Kamis (11/10/2023). 

"Jika sarat ini terpenuhi maka InsyaAllah anak yang lahir akan sehat, tidak terkena stunting karena memenuhi kesehatan reproduksi," kata dia.

Kepala Kantor Perwakilan BKKBN DIY, Dr. Andi Ritamariani menyampaikan, tugas BKKBN adalah melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengendalian penduduk maupun di bidang keluarga berencana. Sehingga bukan hanya sebatas tentang kontrasepsi.

Pihaknya tidak melarang orang melahirkan, tetapi mengupayakan agar masyarakat mengatur jarak kelahiran demi kesehatan ibu dan anak. Makanya, ada istilah 4 T.

Kelahiran anak diatur jaraknya supaya tidak mengalami stunting sehingga kualitas anak-anak Indonesia sehat dan kedepan mampu mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. 

Pencegahan stunting bisa dilakukan mulai dari hulu. Yaitu melakukan pemeriksaan ketika tiga bulan sebelum calon pengantin menikah.

Kemudian ketika sedang hamil hingga anak lahir dan berusia 2 tahun atau dikenal dengan seribu hari pertama kehidupan (HPK).

Selama usia kritis tersebut, bayi harus dipastikan mendapatkan asupan gizi yang seimbang dan cukup untuk anak tumbuh berkembang. 

"Gizi seimbang yang baik itu tidak harus mahal. Tidak ada daging, bisa diganti ayam. Tidak ada ayam bisa telur, bisa juga tempe tahu. Kemudian dilengkapi juga dengan buah dan sayuran. Tidak selamanya yang bergizi itu harus mahal," kata Dr. Andi.

Ia juga menekankan agar bayi diberikan ASI eksklusif diusia 0-6 bulan. 

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3P2KB) Sleman, Wildan Solichin mengungkapkan, stunting tidak identik dengan kemiskinan.

Pasalnya, dari 95 persen kasus stunting di Kabupaten Sleman bukan berasal dari keluarga miskin.

Kasus stunting di keluarga miskin hanya sebesar 5 persen saja. Artinya, orang yang kaya yang mampu membeli makanan bergizi juga anaknya beresiko stunting, jika tidak memberikan makanan bergizi tersebut kepada anak-anaknya. 

"Jadi ini masalah pola makan dan pola asuh. Ini yang perlu dipahami bersama. Stunting tidak identik dengan orang miskin. Anak orang kaya juga bisa berpotensi kena," kata Wildan. 

Sebab itu, sosialisasi dan edukasi tentang pencegahan stunting menjadi sangat penting. Menurut dia, ada 8 faktor determinan yang mempengaruhi stunting.

Tapi yang paling dominan, hampir 64 persen kasus stunting berada di keluarga yang anggota keluarganya perokok. Bayi yang terpapar asap rokok berpotensi stunting. Untuk itu, Ia mengajak bagi mereka perokok aktif untuk bijak saat merokok. 

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved