Kisah Inspiratif

Kisah Eks Napiter Sekretaris Neo Jamaah Islamiyah, Akhiri Masa Pelarian Demi Sang Ibunda 

Hadi merupakan eks petinggi Neo Jamaah Islamiyah (JI) yang dipaksa menyerah dan mengakhiri masa pelarian nan panjangnya.

Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Gaya Lufityanti
Tribunjogja.com/Azka Ramadhan
Hadi Masykur, saat dijumpai di sela pemutaran terbatas film 'Kembali ke Titik', di kawasan Sagan, Kota Yogya, Jumat (7/4/2023) sore. 

 


Benar saja, dalam film dokumenter yang diproduseri oleh Noor Huda Ismail tersebut, digambarkan betapa kagetnya sang ibunda, Ngatiyah, ketika anaknya dicokok Densus 88. Hadi pun mengatakan, bahwa penangkapan itu merupakan harga yang harus ia bayarkan, ketimbang terus menerus menjalani masa pelarian meninggalkan keluarga tercinta.

 


"Rata-rata seperti itu juga (tersadar karena faktor keluarga). Selama di penjara, harapan saya cuma bisa kembali melihat senyuman ibu dan membahagiakan istri dan anak-anak, itu saja," cetusnya.

 


Hadi mengungkapkan sebelumnya ia adalah seorang yang selalu merasa berada di jalan yang benar dan dari situ pula ia mendapatkan pembenaran dalam membela apa yang menjadi keyakinannya. Selama 20 menit penayangan 'Kembali ke Titik', dikisahkan proses Hadi sehingga bisa kembali tergerak untuk pulang ke rumah dan membersamai  keluarganya. 

 


Diceritakan pula, bagaimana perjuangan sang ibu Ngatiyah, serta istri Hadi, Siti Djawariyah atau Titik, dalam bertahan hidup tanpa adanya sosok kepala keluarga sebagai pencari nafkah utama.

 


"Bahkan saking merasa benarnya itu, saya sampai menomorduakan keluarga, terutama ibu kandung saya sendiri, mertua, dan tentu istri dan anak-anak saya," ucap Hadi, yang 20 tahun aktif di Neo JI.

 


Sementara, Produser 'Kembali ke Titik', Noor Huda Ismail, mengungkapkan, dirinya tergerak mengangkat sosok Hadi Masykur setelah mewawancari mantan Pemimpin Neo JI Para Wijaya di dalam penjara. Kala itu, dirinya mengaku terkejut ketika dibeberkan fakta masih ada ribuan kader Neo JI yang aktif dan terus bergerak di berbagai daerah di Indonesia.

 


"Saya kaget, ternyata anggota aktifnya masih sekitar 7 ribu. Saya berfikir, tidak mungkin sebanyak itu harus ditangkap semua, harus ada cara lain. Karena boros anggaran juga, buat negara," jelasnya.

 

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved