Erupsi Gunung Merapi

Bukan Awan Lenticular, Berikut Penjelasan Ilmiah Penampakan Awan Menyerupai UFO di Puncak Merapi

Foto penampakan tak biasa di puncak gunung Merapi ini kemudian viral di akun instagram Minggu 12 Maret 2023, atau sehari setelah merapi erupsi besar

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Ikrob Didik Irawan
(Instagram/@infocegatanklaten)
Tangkapan layar unggahan soal awan unik di sisi Gunung Merapi 

Bukan hanya itu, hujan yang diakibatkan cumulonimbus juga dilengkapi dengan angin kencang di area bawah awan.

Senada, astronom amatir, Marufin Sudibyo, membantah bahwa penampakan awan dalam unggahan adalah awan lenticular.

"Itu bukan awan lenticular. Lebih merupakan awan konvektif, awan cumulus," kata dia, saat dikonfirmasi terpisah, Selasa.

Marufin menerangkan, cumulus merupakan awan yang nantinya bisa berkembang menjadi cumulonimbus, awan sumber hujan deras.

Sebagai awan hujan, cumulus dan cumulonimbus terbentuk melalui proses konvektif biasa, saat uap air naik akibat pengaruh penyinaran Matahari.

Selanjutnya, uap air itu akan mengalami kondensasi atau perubahan menjadi benda cair pada suhu udara di bawah titik embun, di troposfer bagian atas.

"Awan cumulus atau cumulonimbus umum dijumpai dalam musim hujan. Dan saat ini masih musim hujan," ungkapnya.

Perbedaan cumulonimbus dan lenticular

Dikutip dari Kompas.com (19/9/2021), awan lenticular adalah fenomena atmosfer biasa yang sering muncul di atas gunung atau perbukitan.

Bentuk awan ini menyerupai UFO atau topi yang menutupi pegunungan atau perbukitan.

Meski bukan tanda akan datangnya bahaya, awan ini tetap berbahaya bagi aktivitas penerbangan karena menyebabkan turbulensi.

Pembentukan awan lenticular sendiri dipengaruhi oleh faktor orografis atau elevasi. Hal inilah yang menyebabkan awan lenticular sering muncul di daerah pegunungan atau perbukitan.

Sementara itu, dilansir dari Kompas.com (21/1/2021), awan cumulonimbus adalah jenis awan cumulus yang berkaitan dengan badai petir dan hujan lebat.

Awan cumulonimbus dikenal sebagai thunderheads atau kepala petir karena bentuknya yang unik menyerupai jamur.

Saat tetesan air yang terionisasi di awan saling bergesekan, maka awan cumulonimbus akan memunculkan kilatan-kilatan, serta pada akhirnya menciptakan petir. (*)

 

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved