Berita Gunungkidul Hari Ini
Hal yang Tersisa dari Tobong Gamping Khas Gunungkidul, Bertahan Demi Pegawai
Tobong Gamping tengah menjadi pembicaraan masyarakat Gunungkidul lantaran hendak dijadikan monumen di Bundaran Siyono, Playen.
Penulis: Alexander Aprita | Editor: Kurniatul Hidayah
Meski sederhana, proses pembakaran bisa memakan waktu 24 jam dalam sepekan untuk 15 ton batu putih, yang menjadi batu kapur.
Selain sebagai bahan bangunan, batu kapurnya digunakan untuk menetralkan limbah tambak udang.
Menurut Satimin, idealnya pengerjaan Tobong Gamping membutuhkan sekitar 30 orang dalam sehari. Namun saat ini, hanya ada 7 orang yang bekerja per hari, dengan usia tak lagi muda.
"Kalau yang muda sudah banyak yang tidak mau, karena memang tidak berminat kerja seperti ini," katanya.
Selain masalah tenaga, bahan batu putih pun kini kian sulit didapatkan dan harganya sudah mahal. Adapun bahannya kini didapat dari Gari sendiri dan Kapanewon Semanu.
Terpisah, Wardoyo (62) selaku pemilik usaha Tobong Gamping memilih tetap bertahan demi puluhan pegawainya. Ia sudah menjadi generasi kesekian di keluarganya dalam mengelola Tobong Gamping.
"Sebab kasihan sama tenaganya, mereka tetap perlu bekerja," ujar pria yang juga memiliki usaha bahan bangunan ini.
Wardoyo mengungkapkan jika Tobong Gamping miliknya sempat disurvei untuk dijadikan contoh rancangan monumen di Bundaran Siyono. Dijadikannya Tobong Gamping sebagai ikon Gunungkidul pun seakan jadi secercah harapan baginya.
Baca juga: BLT BBM di Sleman Telah Tersalurkan 96 Persen
Ia dengan tegas ingin agar usahanya itu terus berjalan. Terlepas dari ada atau tidaknya dukungan pemerintah, lesunya permintaan, hingga paceklik regenerasi pekerja.
"Yang pasti saya tetap mau mempertahankan usaha Tobong Gamping ini, bagaimanapun kondisinya," kata Wardoyo. (alx)