Berita Gunungkidul Hari Ini
Hal yang Tersisa dari Tobong Gamping Khas Gunungkidul, Bertahan Demi Pegawai
Tobong Gamping tengah menjadi pembicaraan masyarakat Gunungkidul lantaran hendak dijadikan monumen di Bundaran Siyono, Playen.
Penulis: Alexander Aprita | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM, GUNUNGKIDUL - Tobong Gamping tengah menjadi pembicaraan masyarakat Gunungkidul lantaran hendak dijadikan monumen di Bundaran Siyono, Playen.
Tobong Gamping dinilai tepat lantaran sudah menjadi ikon dari Bumi Handayani.
Wujud asli Tobong Gamping kini masih bisa dilihat di perbatasan antara Kalurahan Gari dan Piyaman, Wonosari.
Hanya ada beberapa yang masih berfungsi, namun kebanyakan kondisinya sudah rusak tak berbentuk.
Baca juga: Tokoh Masyarakat Papua Kecam Tindakan Korupsi Lukas Enembe
Satimin (62), salah satu pekerja di situ mengungkapkan jika hanya itulah sisa-sisa Tobong Gamping di Gunungkidul.
"Dulu ada banyak, di Gari sendiri sampai 50 Tobong," ujarnya ditemui belum lama ini.
Jumlah sebanyak itu ada di masa kejayaan Tobong Gamping, sekitar tahun 1970-an.
Namun sekitar 3 dekade setelahnya, masa kejayaan itu meredup dan usaha Tobong Gamping kian ditinggalkan.
Menurut Satimin, redupnya kejayaan Tobong Gamping tak terlepas dari turunnya permintaan batu kapur untuk bahan bangunan.
Tak tanggung-tanggung, penurunannya mencapai 70 persen lebih.
Kini permintaan masih tetap ada, namun tidak sebanyak dulu.
Semarang, Pemalang, Tegal hingga Jakarta masih jadi tujuan pengiriman batu kapur hasil olahan Tobong Gamping.
"Ke Semarang dalam sebulan bisa sampai 70 ton batu kapur, per kilonya dihargai Rp 1.000,00," jelas Satimin.
Cara menggunakan Tobong Gamping cukup sederhana, yaitu memasukkan batu ke dalam tungku, lalu dibakar sesuai kebutuhan.
Nama Tobong mengacu pada bentuk bangunannya yang berupa menara.
Meski sederhana, proses pembakaran bisa memakan waktu 24 jam dalam sepekan untuk 15 ton batu putih, yang menjadi batu kapur.
Selain sebagai bahan bangunan, batu kapurnya digunakan untuk menetralkan limbah tambak udang.
Menurut Satimin, idealnya pengerjaan Tobong Gamping membutuhkan sekitar 30 orang dalam sehari. Namun saat ini, hanya ada 7 orang yang bekerja per hari, dengan usia tak lagi muda.
"Kalau yang muda sudah banyak yang tidak mau, karena memang tidak berminat kerja seperti ini," katanya.
Selain masalah tenaga, bahan batu putih pun kini kian sulit didapatkan dan harganya sudah mahal. Adapun bahannya kini didapat dari Gari sendiri dan Kapanewon Semanu.
Terpisah, Wardoyo (62) selaku pemilik usaha Tobong Gamping memilih tetap bertahan demi puluhan pegawainya. Ia sudah menjadi generasi kesekian di keluarganya dalam mengelola Tobong Gamping.
"Sebab kasihan sama tenaganya, mereka tetap perlu bekerja," ujar pria yang juga memiliki usaha bahan bangunan ini.
Wardoyo mengungkapkan jika Tobong Gamping miliknya sempat disurvei untuk dijadikan contoh rancangan monumen di Bundaran Siyono. Dijadikannya Tobong Gamping sebagai ikon Gunungkidul pun seakan jadi secercah harapan baginya.
Baca juga: BLT BBM di Sleman Telah Tersalurkan 96 Persen
Ia dengan tegas ingin agar usahanya itu terus berjalan. Terlepas dari ada atau tidaknya dukungan pemerintah, lesunya permintaan, hingga paceklik regenerasi pekerja.
"Yang pasti saya tetap mau mempertahankan usaha Tobong Gamping ini, bagaimanapun kondisinya," kata Wardoyo. (alx)