Mahfud MD Sebut Rangkaian Demo Akumulasi Kekecewaan: Negara Tak Bisa Diurus seperti Warung Kopi

Mahfud MD menilai demonstrasi yang muncul bersifat organik, lahir dari akumulasi kekecewaan publik terhadap kebijakan pemerintah.

TRIBUNJOGJA.COM/ HANIF SURYO
Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD ditemui di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Kamis (4/9/2025). 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyoroti demonstrasi yang berlangsung pada pekan terakhir Agustus 2025 dan menyebabkan 10 orang meninggal dunia. 

Berdasarkan catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), beberapa korban tewas diduga akibat kekerasan dan penyiksaan oleh aparat.

Korban yang tercatat, antara lain Affan Kurniawan (Jakarta), Sarina Wati (Makassar), Saiful Akbar (Makassar), Muhammad Akbar Basri (Makassar), Rusdamdiansyah (Makassar), Sumari (Solo), Rheza Sendy Pratama (Yogyakarta), Andika Lutfi Falah (Jakarta), Iko Juliant Junior (Semarang), dan Septinus Sesa (Manokwari).

Mahfud MD menilai demonstrasi yang muncul bersifat organik, lahir dari akumulasi kekecewaan publik terhadap kebijakan pemerintah.

“Bahwa munculnya demo ini aslinya adalah organik. Organik itu ada alasan-alasan yang memang muncul dari bawah dan riil. Cuma kemudian ada yang menunggangi. Menunggangi dengan mendalangi itu berbeda. Kalau mendalangi itu dia yang merencanakan lalu dia yang menggerakkan. Ini tidak masyarakat organik,” ujarnya ditemui di Kompleks Kepatihan, Kamis (4/9/2025).

Menurutnya, gerakan itu tidak terdeteksi intelijen karena dipicu secara tiba-tiba.

"Makanya tidak tersentuh oleh intelijen sebelumnya. Tiba-tiba muncul gitu kan. Karena pemicunya muncul ya organiknya muncul juga. Nah kemudian ada yang menunggangi macam-macam teori-teorinya itu. Saya tidak tahu siapa dan saya tidak ingin tahu siapa penunggangnya,” kata Mahfud.

Baca juga: Jadi Sasaran Perusakan,  Pos Polantas di Denggung Sleman Sementara Ditutup dan Pelayanan Dialihkan

Ia menilai protes yang meletup adalah dampak dari kebijakan yang tak ditanggapi serius.

“Pokok masalahnya itu akumulasi kekecewaan publik terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang tidak pernah ditanggapi serius. Jadi bertumpuk-tumpuk masalah tidak pernah ditanggapi. Terkadang malah hanya diketawain, disindir, macam-macam. Sehingga kemudian muncul gerakan itu,” ucapnya.

Meski demikian, ia menilai situasi kini sudah ditangani. 

“Tapi sekarang sudah diselesaikan dengan baik-baik dan perusuhnya sudah mulai tangkapi. Kita belajar dari pengalaman itu untuk menjadi lebih baik. Karena ngurus negara ini tidak seperti ngurus warung kopi. Bisa dibawa bergurau karena orangnya sedikit," kata dia.

"Kurang gula, tambah sedikit, sedikit. Kalau ini terlalu manis, tambah airnya dan sebagainya. Ini ngurus banyak (orang), tanggapannya terhadap berbagai persoalan itu kurang berkualitas lah,” tutur Mahfud.

Terkait isu adanya upaya makar, Mahfud menyerahkan sepenuhnya kepada aparat. 

“Ya ditangkap aja kalau ada yang makar. Makar itu kan ada di undang-undang hukum pidana ya. Dia ditangkap aja kalau ada yang ingin menggulingkan pemerintah yang sah, dua, ada gerakan untuk presiden dan wakil presiden tidak bisa bekerja. Itu makar namanya, apa ada ke arah itu saya tidak tahu, kan pemerintah lebih tahu,” imbuhnya.

Soal insiden pelemparan bom molotov di sejumlah pos polisi di Yogyakarta, Mahfud menegaskan pentingnya menjaga stabilitas. 

“Jogja itu barometer, kalau Jogja panas biasanya seluruh Indonesia ikut panas. Kalau Jogja masih dingin, biasanya semuanya bisa berharap dingin. Oleh sebab itu, mari kita jaga aja Jogja ini, jangan sampai timbul situasi yang chaos dari sini,” katanya. (*)
 

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved