Keputusan MK terkait UU Cipta Kerja Dinilai Abu-abu, PSHK FH UII Khawatir Ada Ketidakpastian Hukum
Pada 25 November 2021 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutus permohonan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pada 25 November 2021 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutus permohonan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Dalam salah satu amarnya, MK menyebut pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan’.
MK juga menyatakan UU Cipta Kerja ini masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana telah ditentukan.
Baca juga: Polres Magelang Serahkan Bantuan Peralatan kepada Anggotanya untuk Tingkatkan Pelayanan
Terhadap hal tersebut, Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) menilai putusan MK ini membingungkan.
Peneliti Bidang Riset & Edukasi PSHK UII, Melani Aulia Putri Jassinta SH mengatakan, amar putusan MK kurang tegas terkait dengan keberlakuan substansi UU Cipta Kerja.
Dia menjelaskan, secara filosofis, judicial review atau pengujian undang-undang ditujukan untuk membatasi besarnya kekuatan politik pembentuk undang-undang dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
“Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, antara teknis pembentukan maupun substansi peraturan, formil dan materil, merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain,” ujarnya, Senin (6/12/2021).
Sehingga, adanya persoalan teknis dalam pembentukan suatu peraturan akan berdampak pada tidak dapat dilaksanakannya substansi peraturan yang dibentuk.
Lebih lanjut, katanya, uji formil terhadap suatu undang-undang di MK ditujukan untuk melihat keabsahan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan.
Dengan begitu, ada konsekuensi ketika suatu peraturan perundang-undangan dinyatakan cacat formil atau tidak sah pembentukannya.
“Seharusnya seluruh materi undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat atau batal demi hukum. Logika sederhananya, karena proses pembentukan peraturan tersebut tidak sesuai dengan asas dan norma yang ditetapkan oleh konstitusi, maka undang-undang tersebut seharusnya dibatalkan oleh MK,” tegasnya.
Diketahui, dalam amar putusannya MK menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil, namun di satu sisi masih memberlakukan UU Cipta Kerja dalam dua tahun kedepan.
Hal ini, kata dia, tentu secara teoritis merupakan praktik yang tidak biasa.
Di sisi lain, MK juga memerintahkan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.