PSHK UII Nilai Pemecatan 51 Anggota KPK Tidak Berdasar dan Merugikan Hak Pegawai
emecatan 51 anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berbuntut panjang dan menimbulkan kontroversi di masyarakat dan akademisi.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pemecatan 51 anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berbuntut panjang dan menimbulkan kontroversi di masyarakat dan akademisi.
Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Allan FG Wardhana SH MH mengatakan, pemecatan itu sebenarnya tidak berdasar dan merugikan hak pegawai KPK.
Dia menjelaskan, memang ada salah satu syarat pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN yang berdasarkan pasal 5 peraturan KPK No 1 Tahun 2021 adalah setia dan taat pada Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan pemerintah yang sah.
Untuk memenuhi syarat tersebut, maka tiap pegawai KPK yang beralih status harus mengikuti Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Baca juga: BREAKING NEWS: Puluhan Warga Ngaglik yang Isolasi di Asrama Haji Sudah Pulang ke Rumah
TWK diselenggarakan oleh KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Maka, jika dikaitkan dengan Pasal 23 PKPK No 1 Tahun 2021, pegawai KPK dapat diberhentikan sebagai ASN apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai ASN.
“Tapi dalam konteks ini, bagaimana mungkin pegawai KPK yang selama ini telah bekerja bersama dan berdedikasi dalam pemberantasan korupsi tidak lulus TWK sekaligus diartikan tidak memenuhi syarat setia dan taat pada Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan pemerintah yang sah,” ungkapnya, Selasa (1/6/2021).
Ia kemudian menanyakan, indikator seperti apa yang bisa menentukan kesetiaan, ketaatan para pegawai KPK pada Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan pemerintah yang sah?
“Ini jadi pertanyaan, kesetiaan dan ketaatan yang seperti apa yang diinginkan pemerintah,” tanyanya.
Ditambahkan Allan, pemecatan ini dilakukan tanpa transparansi yang jelas, terutama berkaitan dengan substansi soal yang diujikan dalam TWK dan hasil tesnya juga belum diumumkan.
Bagi Allan, ketidaktransparan pelaksanaan TWK dan pemecatan ini merugikan hak pegawai KPK sekaligus mengabaikan pengabdian, dedikasi dan kontribusi yang selama ini telah diberikan oleh mereka.
“Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK), ada penegasan bahwa pengalihan status harus dilakukan dengan tidak merugikan hak-hak pegawai untuk diangkat menjadi ASN, maka pemberhentian mereka ini telah bertentangan dengan putusan MK itu,” bebernya panjang.
Dikatakan Allan, TWK yang tidak transparan seharusnya tidak bisa menjadi dasar pemecatan para pegawai KPK.
Hal ini karena dasar pengalihan status pegawai KPK sudah tertuang dalam Pasal 3 PP 41/2020 yang mengatur setidaknya ada lima persyaratan lain yang harus dipenuhi secara kumulatif.