Polemik Penggunaan Lorong Selasar di Kawasan Malioboro Yogyakarta, Ini Kata PPMAY dan Paguyuban PKL
Penggunaan lorong atau selasar di depan toko yang ada di sepanjang kawasan Malioboro Yogyakarta menjadi polemik
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Muhammad Fatoni
Dalam waktu dekat, pihaknya akan memasang papan peringatan untuk tidak berjualan di sekitar toko anggota PPMAY yang ditujukan bagi para PKL.
"Sudah kami komunikasikan tapi susah diatur. Nanti akan kami pasang papan peringatan," tuturnya.
Baca juga: Komunitas PKL Malioboro Pastikan Pedagang yang Menolak Vaksinasi Hanya Sebagian Kecil
Baca juga: Pemda DI Yogyakarta Bakal Lakukan Penyekatan di 10 Titik Perbatasan untuk Antisipasi Pemudik
Menanggapi hal itu, Pengawas dan Penasihat Koperasi Paguyuban Tri Dharma PKL Malioboro, Rudiarto, mengatakan dirinya dan 913 pedagang lainnya yang tergabung di Koperasi Tri Dharma menolak keras apabila pihaknya diklaim telah memanfaatkan lahan para pemilik toko.
Pasalnya, menurut sejarah yang ia ketahui, pembangunan lorong di kawasan Malioboro dilakukan Pemkot Yogyakarta bukan dari lahan pemilik toko.
"Tapi saat itu toko diminta mundur tiga meter untuk kepentingan publik. Saya kira tidak pantas kalau berpikir untuk hak privat," katanya.
Ia menambahkan, selama ini Malioboro dibangun dengan kebersamaan, sehingga ke depan hanya butuh pengaturan untuk saling menjaga, menghormati satu sama lain.
Karena, baik pengusaha maupun PKL di kawasan itu sama-sama sedang mencari nafkah.
"Kami bisa memahami kepentingan pengusaha, tapi pengusaha juga bisa memahami kepentingan pedagang kecil," imbuhnya.
Menurutnya, audiensi yang dilakukan kelompok PPMAY kepada pemerintah itu hanya suara sepihak.
Karena sepengetahuan dirinya, regulasi yang disusun Pemkot Yogyakarta ada beberapa ruang yang sudah diatur untuk kegiatan ekonomi, yakni tempat berjualan PKL, pertokoan, dan ruang publik.
"Regulasinya sudah ada kok, dan sebetulnya selama ini tidak ada masalah. Kalau pun itu audiensi, mereia tidak ada koordinasi dengan kami. Itu hanya suara sepihak saja," jelasnya.

Rudianto mengklaim, para kelompok PPMAY yang saat ini mengusik keberadaan PKL di Malioboro adalah pengusaha yang mengontrak toko di kawasan Malioboro.
Karena jika mereka adalah pemilik toko yang sebenarnya, mereka akan menolak sejak dulu saat adanya revitalasasi kawasan.
"Yang vokal itu saya yakin bukan pemilik toko sebenarnya. Kalau itu pemilik, pastinya sejak dari dulu menolak. Karena perkembangannya Malioboro itu berpotensi ekonomi tinggi, para pengusaha itu merasa keberatan," paparnya.
Ia menilai, magnet kawasan Malioboro bukan bersumber dari pertokoannya, melainkan justru datang dari aktivitas para PKL di sekitaran jalan tersebut.
Menurutnya, jika dibandingkan dengan kawasan pertokoan lainnya, Jalan Malioboro kalah jauh dengan kawasan pertokoan yang lebih dahulu berkembang dan dikenal masyarakat.
"Ramainya Malioboro itu karena ada aktivitas PKL, pelaku Makro, Mikro dan menengah itu jadi satu," pungkasnya. (*)