Ternyata Thai Tea yang Digandrungi Milenial Sudah Ada Sejak Zaman Sri Sultan Hamengku Buwono II
Artinya, sejak tahun 1792, pertama kali Sri Sultan Hamengku Buwono II bertahta, racikan teh susu itu sudah ada. Saat itu, elit Keraton Yogyakarta
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
Pada tahun 1832, seorang ilmuwan J Jacobson membawa beberapa pakar teh dari China ke Jawa.
Ia membawa para pakar lantaran dirinya pernah menimba ilmu tentang teh di Canton, pada tahun 1827.
Kemudian, pada 1841, seorang hartawan China membangun perniagaan teh untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal.
Dia membuka perkebunan teh di tanah cukup subur di area Bagelen, Yogyakarta.
“Tradisi itu tidak lantas punah. Itu masih berkembang di Keraton Yogyakarta sampai pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI,” jelas Fajar.
Sultan secara khusus memiliki perlengkapan minum teh beserta susu.
Tidak heran, dalam pameran, ada gelas teh dan gelas dengan corong minimalis untuk menaruh susu.
Di masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang memerintah pada 1877-1921, teh menjadi jamuan kenegaraan.
Perlembagaan dapur khusus teh pun dibangun olehnya dan dikenal sebagai tradisi Patehan.
Lambat laun, tradisi asing itu menjadi mengakar di Keraton Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwono VIII sering menggelar jamuan minum teh sore hari bersama kerabat dan Abdi Dalem.
Baca juga: KRONOLOGI Penggeledahan Rumah Terduga Teroris di Bantul oleh Densus 88, Amankan Anak Panah
Kebiasaan ini menurun ke putra-putri raja. Sejak saat itu, mereka kerap menikmati secangkir teh di sore hari.
Mereka duduk di Bangsal Ksatriyan. Teh itu pun bersanding dengan nikmatnya kastengel, kacang mete dan roti.
“Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VI, Keraton Yogyakarta juga sudah mempekerjakan koki orang China untuk masak di Eropa. Di zaman Sultan Hamengku Buwono VII, sajian juga sudah ada sampanye, bir dan limun untuk tamu dari Eropa,” tutur Fajar menerangkan. (ard)