Ternyata Thai Tea yang Digandrungi Milenial Sudah Ada Sejak Zaman Sri Sultan Hamengku Buwono II

Artinya, sejak tahun 1792, pertama kali Sri Sultan Hamengku Buwono II bertahta, racikan teh susu itu sudah ada. Saat itu, elit Keraton Yogyakarta

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA/ Ardhike Indah
Gelas teh yang digunakan Ngarsa Dalem di setiap masa dipamerkan dalam pameran ‘Bojakrama: Jamuan Kenegaraan Keraton Yogyakarta’ 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Minuman teh susu yang terkenal dengan nama Thai Tea memang banyak dijual di DI Yogyakarta.

Hampir di setiap sudut kota pelajar ini, minuman tersebut bisa dijumpai dan dibeli dengan harga terjangkau.

Terkadang, teh susu akan disandingkan dengan es dan boba, tepung tapioka yang dibentuk bulat seperti bola.

Tentu saja, kesegarannya nyata dan tiada dua.

Namun, tahukah Anda ternyata teh susu itu sudah pernah diracik di zaman Sri Sultan Hamengku Buwono II masih menjadi raja?

Baca juga: Densus 88 Geledah Dua Rumah di Bantul, Masing-masing di Pleret dan Sewon, Temukan Selongsong Peluru

Artinya, sejak tahun 1792, pertama kali Sri Sultan Hamengku Buwono II bertahta, racikan teh susu itu sudah ada.

Saat itu, elit Keraton Yogyakarta mengenal kebiasaan minum teh bercampur susu.

Biasanya, mereka meminum itu saat melakukan kunjungan ke kantor residen Yogyakarta.

Jamuan teh, susu, roti biskuit dan manisan buah turut menjadi pelengkap secangkir teh susu yang disuguhkan.

“Betul, teh susu itu sebenarnya sudah ada sejak zaman Hamengku Buwono II,” ungkap Kurator Pameran ‘Bojakrama: Jamuan Kenegaraan Keraton Yogyakarta’, Fajar Wijanarko saat tur media di Komplek Kedhaton Keraton Yogyakarta, Jumat (2/4/2021).

Sejak zaman itu pula, tradisi minum teh selalu ada di Keraton Yogyakarta. Tradisi itu merupakan jamuan bangsawan Eropa.

Elit Keraton Yogyakarta mengetahui dan mengakulturasi budaya tersebut dari para kolonialis ke Hindia Belanda.

“Di Keraton Yogyakarta, teh ini dikenal sebagai jamuan sejak masa Residen Pieter Engelhard,” paparnya lagi.

Seiring berjalannya waktu, kepopuleran teh sebagai jamuan terus melejit.

Pada tahun 1832, seorang ilmuwan J Jacobson membawa beberapa pakar teh dari China ke Jawa.

Ia membawa para pakar lantaran dirinya pernah menimba ilmu tentang teh di Canton, pada tahun 1827.

Kemudian, pada 1841, seorang hartawan China membangun perniagaan teh untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal.

Dia membuka perkebunan teh di tanah cukup subur di area Bagelen, Yogyakarta.

“Tradisi itu tidak lantas punah. Itu masih berkembang di Keraton Yogyakarta sampai pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI,” jelas Fajar.

Sultan secara khusus memiliki perlengkapan minum teh beserta susu.

Tidak heran, dalam pameran, ada gelas teh dan gelas dengan corong minimalis untuk menaruh susu.

Di masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang memerintah pada 1877-1921, teh menjadi jamuan kenegaraan.

Perlembagaan dapur khusus teh pun dibangun olehnya dan dikenal sebagai tradisi Patehan.

Lambat laun, tradisi asing itu menjadi mengakar di Keraton Yogyakarta.

Sri Sultan Hamengku Buwono VIII sering menggelar jamuan minum teh sore hari bersama kerabat dan Abdi Dalem.

Baca juga: KRONOLOGI Penggeledahan Rumah Terduga Teroris di Bantul oleh Densus 88, Amankan Anak Panah

Kebiasaan ini menurun ke putra-putri raja. Sejak saat itu, mereka kerap menikmati secangkir teh di sore hari.

Mereka duduk di Bangsal Ksatriyan. Teh itu pun bersanding dengan nikmatnya kastengel, kacang mete dan roti.

“Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VI, Keraton Yogyakarta juga sudah mempekerjakan koki orang China untuk masak di Eropa. Di zaman Sultan Hamengku Buwono VII, sajian juga sudah ada sampanye, bir dan limun untuk tamu dari Eropa,” tutur Fajar menerangkan. (ard)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved