Fenomena Sosial Manusia Silver di Jogja
Sosiolog UGM: Manusia Silver Bisa Jadi Bagian dari Ekspresi Seni dan Membangun Solidaritas
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arie Sujito, memberikan pandangan agar fenomena manusia silver tidak dipandang secara pragmatis
Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kemunculan manusia silver menjadi fenomena sosial tersendiri dalam beberapa tahun terakhir.
Termasuk pula di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dimana juga marak muncul manusia silver di beberapa simpang jalan.
Krisis pandemi Covid-19 membuat jumlah praktik manusia silver kian bertambah.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arie Sujito, memberikan pandangan agar fenomena tersebut tidak dipandang secara pragmatis.
Baca juga: Rasa Gatal di Badan hingga Potensi Masalah Kulit Bagi Manusia Silver, Ini Kata Dokter Spesialis
Baca juga: Kisah Petrus Adi Utomo, Pengamen Puisi di Parangtritis Hibur Wisatawan Lewat Untaian Kata-kata Indah
Melainkan, penting untuk melihatnya dalam konteks berbeda, yakni bagian dari ekspresi seni dan membangun solidaritas.
Arie pun beranggapan praktik tersebut tidak sesuai disebut sebagai tindak pengemisan.
"Menurut saya yang paling penting ini bisa kita baca dalam konteks bagian dari orang menggunakan seni. Mereka tidak juga disebut sebagai pengemis. Dia menggunakan ekspresi seni, mungkin dia melihat keunikan ini menimbulkan ketertarikan," ujar Arie dihubungi Tribunjogja.com, Rabu (24/3/2021).
"Ini bukan pengemis, dia juga tidak maksa. Menurut saya ini settingnya krisis pandemi, dia memanfaatkan cara ini untuk membangun solidaritas dari cara seni," sambungnya.
Menurut Arie, sebagai sebuah fenomena, hal ini merupakan suatu cara yang unik.
"Anggap saja ini sebagai sebuah karya seni. Juga ada dorongan untuk menghimpun rasa solidaritas. Itu bukan hal yang salah atau buruk. Pengamen itu juga ekspresi seni," ungkapnya.

Arie melanjutkan, masa pandemi memang merupakan tantangan krisis ruang pekerjaan yang semakin terbatas.
Sejauh seseorang tidak membuat orang lain terganggu dan tidak memaksa, menurutnya praktik manusia silver tidak masalah.
"Sejauh mereka tidak mengganggu dan tidak memaksa, tidak masalah. Jangan sekadar menggunakan tafsir disiplin. Mungkin ini cara untuk survive," tandasnya.
Mengais Rezeki di Tengah Pandemi
Salah seorang manusia silver yang ditemui Tribun Jogja bernama Deni Maulana, mengatakan, sebelum mencari uang dengan menjadi manusia silver, ia terlebih dahulu mengamen di beberapa persimpangan jalan wilayah DIY.
Ia juga pernah menjadi pengamen boneka di beberapa tempat, di antaranya simpang empat Kentungan, simpang empat Jalan Magelang dan tempat lainnya.
Deni memilih menjadi manusia silver lantaran menurutnya modal untuk menghibur orang di jalan tersebut terbilang murah.
Dirinya hanya perlu mengeluarkan uang sebesar Rp9.000 untuk membeli cat besi atau cat kayu warna silver yang digunakan sebagai pemikat perhatian pengendara selama menjadi manusia Silver.
"Murah kalau manusia silver modalnya. Cuma cat besi atau kayu, harganya Rp9.000 bisa buat dua orang," katanya, saat ditemui Tribunjogja.com, Rabu (24/3/2021).
Cat yang digunakan untuk melumuri tubuhnya jelas tidak layak jika dipakai pada kulit manusia.
Akan tetapi hal itu ia lakukan lantaran saat ini mencari pekerjaan di tengah pandemi COVID-19 diakui olehnya sangatlah susah.
"Ya bagaimana lagi, ini urusan perut kok," singkat dia.

Supaya mudah dibersihkan, ia mencampur cat besi warna silver tersebut dengan minyak goreng.
"Jadi biar aman dan mudah dibersihkan ya saya campuri dengan minyak goreng. Perbandingannya satu banding satu. Itu untuk cat ukuran kaleng kecil," jelas Deni.
Hanya sekitar 15 menit proses mencampur dua jenis bahan itu dapat selesai, dan saat itu juga tubuh Deni yang hanya telanjang dada telah berwarna silver mengkilap.
Siang itu, Deni memilih di simpang empat Jalan Pangeran Diponegoro, Jetis, Kota Yogyakarta.
Deni tak sendirian, ada tiga kawan lain sesama manusia Silver yang mengisi di simpang jalan lainnya.
"Saya hidup di jalan udah hampir 10 tahun. Ya dulu mulainya ngamen, terus ya sekarang Nyilver (manusia silver-red)," terang pria yang mengaku berasal dari Kalimantan itu.
Baca juga: Pengakuan Manusia Silver di Yogya, Cari Rezeki di Masa Pandemi hingga Kejar-kejaran dengan Petugas
Baca juga: Kisah Asal-usul Kampung Pitu di Gunungkidul, Hanya Dihuni 7 Keluarga hingga Mitos Kepercayaan Warga
Ia mengatakan, awal pertama kali muncul manusia Silver sekitar awal tahun 2020 yang lalu.
Deni belum memastikan siapa orang pertama kali yang mengenalkan manusia silver kepada masyarakat yang kini menjadi salah satu cara untuk mengamen di jalan.
Kejar-kejaran dengan Satpol PP
Pria berambut ikal itu mengaku jika apa yang dilakukannya melanggar peraturan daerah (Perda) DIY yang mengatur tentang gelandangan, pengamen dan pengemis.
Seringkali dirinya harus kejar-kejaran dengan petugas penegak hukum Satpol PP DIY maupun Satpol PP Kota Yogyakarta.
"Udah biasa kalau kayak gitu. Kejar-kejaran dengan petugas. Saya juga sering tertangkap dan dibawa ke penampungan gelandangan dan pengemis," ungkap Deni.
Meski begitu, dirinya kembali turun ke jalan setelah kurang lebih 14 hari di penampungan Dinas Sosial (Dinsos) DIY.
Alasannya, fasilitas yang diberikan oleh pihak Dinsos tidak layak bagi dirinya dan teman-teman sesama manusia silver lainnya.
"Karena enggak betah. Ya bagaimana, kami dicampur sama orang gila. Tidur desak-desakan, ya mending ke jalan lagi aja," tambah Deni.
Apa yang dilakukannya di jalan sebagai manusia silver diakui olehnya sebuah keterpaksaan demi memenuhi kebutuhan hidup.
Langgar Perda
Terpisah, Kasatpol PP DIY, Noviar Rahmad tidak berdiam diri atas maraknya manusia silver di DIY saat ini.
Noviar menjelaskan, keberadaan manusia silver, pengamen boneka, dan gelandangan telah melanggar Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang penanganan gelandangan dan pengemis.
Saat ini Satpol PP DIY akan menggencarkan razia untuk menjaring para manusia silver tersebut.
"Ya sebetulnya itu melanggar perda nomor 1 Tahun 2014 tentang gelandangan dan pengemis. Kami terus melakukan razia," kata Noviar.

Ia meyakini keberadaan manusia silver tersebut berasal dari luar daerah yang sering berpindah-pindah kota.
Hal itu menjadi kendala pihak penegak hukum dalam melakukan razia di lapangan.
"Sulitnya ya itu, mereka itu berpindah-pindah kota. Saat ada razia mereka juga seringkali lari. Nah, personel kami itu tua-tua jadi seringkali kuwalahan," papar Noviar.
Dalam bulan Maret ini, pihaknya baru menjaring sekitar 10 manusia silver yang berkeliaran di wilayah DIY.
Sementara menurut Noviar, jumlah manusia silver ada sekitar ratusan yang aktif dan mengais rejeki di jalan yang ada di DIY.
"Kemarin kami baru behasil menjaring sepuluh manusia silver. Kalau totalnya ada ratusan, dan hampir semua persimpangan jalan di DIY ada manusia silver," tegas Noviar.
( tribunjogja.com )