IDEA Yogyakarta Temukan 57 Laporan Kasus Bansos

Perkumpulan Ide dan Analitika Indonesia (IDEA) Yogyakarta turut menyoroti penyaluran beberapa program bantuan sosial (Bansos)

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Kurniatul Hidayah
kemensos.go.id | Masyhar
Ilustrasi penerima program bantuan Kemensos pada Minggu pertama tahun 2021. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Perkumpulan Ide dan Analitika Indonesia (IDEA) Yogyakarta turut menyoroti penyaluran beberapa program bantuan sosial (Bansos) pemerintah untuk masyarakat kurang mampu di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Catatan hitam penyaluran bansos oleh pemerintah di DIY pada 2020 kemarin pun masih jelas.

Tercatat IDEA Yogyakarta menemukan sedikitnya 57 laporan kasus yang terindikasi adanya pelanggaran dan penyalahgunaan pemberian bansos bagi masyarakat.

Peneliti IDEA Yogyakarta Ahmad Haedar tak ingin muncul laporan kasus serupa di tahun kedua pandemi COVID-19 ini.

Untuk itu dirinya menegaskan bahwa peran Dinas Sosial (Dinsos) DIY dan Dinsos Kabupaten/Kota untuk melakukan pengawasan kepada pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) sangat diperlukan.

Baca juga: Warga Dengar Teriakan Minta Tolong, Pasutri di Playen Gunungkidul Tewas Tersengat Listrik 

Baca juga: Jelang Imlek, Begini Prediksi Keuangan 12 Shio Sepanjang Tahun Kerbau Logam : Waspada Godaan!

"Kemarin kami sudah berikan rekomendasi ke Dinsos, karena temuan kami paling banyak waktu itu pemberian bansos tidak tepat sasaran," katanya, saat dihubungi Tribun Jogja, Minggu (31/1/2021).

Menurutnya ada dua klasifikasi pelanggaran maupun penyalahgunaan yang ia temukan yakni pertama masyarakat kurang mampu dan dinyatakan layak namun tidak mendapatkan bantuan, sementara klasifikasi kedua yaitu masyarakat yang sudah mampu justru menerima bantuan.

Dari hal tersebut, IDEA Yogyakarta menganggap salah satu persoalan penyaluran bansos tersebut berada pada sinkronisasi data.

"Perhatian kami waktu itu pada sinkroniasi data. Khususnya pada verifikasi dan validasi data," tuturnya.

Semestinya, lanjut Haedar, peran desa dan pemerintah kabupaten harus maksimal dalam proses pendataan penerima PKH terutama untuk melaksanakan verifikasi dan validasi.

Karena Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang digunakan oleh Kemensos merupakan data di tahun 2015.

Sementara mulai tahun 2016 hingga 2020 kemarin menurut Haedar seharusnya kondisi kesejahteraan masyarakat dipastikan berubah.

"Mereka memakai DTKS 2015. Padahal kan tentunya ada perubahan. Ada warga yang meninggal, dan ada penerima yang sudah sejahtera. Artinya itu kan perlu ada verifikasi data. Dan itu tugas pemerintah desa dan kabupaten untuk memverifikasi," tegas Haedar.

Perhatian kedua, menurut Haedar, Dinsos Kabupaten/Kota punya kewenangan untuk merekomendasikan ke Kemensos apabila ditemukan pendamping PKH yang menggelapkan bansos masyarakat.

Di sepanjang 2020, IDEA Yogyakarta menemukan dua pendamping PKH yang menyalahgunakan tugasnya.

Kasus penggelapan bantuan oleh pendamping PKH bermodus memalsukan data penerima bantuan.

Selama ini data penerima bansos memang berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang terdaftar di Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generatian (SIKS-NG)

"Jadi sesuai data SIKS-NG itu penerima bantuan masih sah, tapi penerima itu tidak mendapatkan bantuan. Bantuannya cair tapi tidak diberikan, dan berhenti di pendamping PKH," ungkap Haedar.

Untuk memperkecil penyalahgunaan tugas pendamping PKH, peneliti IDEA Yogyakarta sudah pernah menanyakan terkait penegakan hukum dan kode etik bagi pendamping PKH.

Namun dalam hal ini, baik Dinsos DIY maupun Dinsos Kabupaten/Kota menjawab pengawasan para pendamping dilakukan oleh Kemensos.

"Ini agak rumit, kami sudah menanyakan gimana sih penegakan hukum dan kode etik pendamping ini. Mereka menjawab itu kewenangan kemensos," ujarnya.

Padahal, dalam hal ini Haedar menginginkan agar Dinsos kabupaten/Kota harusnya mengambil bagian dalam pengawasan pendamping PKH.

"Harus ikut mengawasi, misalnya merekomendasikan ke Kemensos untuk mencopot atau mengganti pendamping PKH yang menggelapkan bantuan," ungkap Haedar.

Menurut Haedar, pengawasan pendamping PKH selama ini masih lemah.

Bahkan pihak kepolisian saat dikonfirmasi olehnya juga menjawab pengawasan bukan kewenangan pihak kepolisian.

"Padahal fungsi pendamping sangat vital. Kalau dia mau menggelapkan uang bansos gampang sekali. Dan ini menjadi catatan pemerintah untuk ke depan," paparnya.

Baca juga: Tebing Panjang 25 Meter, Tinggi 5 Meter Longsor di Nglipar Gunungkidul

Baca juga: Pupuk Bersubsidi di Kulon Progo Terserap Seluruhnya Selama 2020

Sementara itu, Kabid Perlindungan Jaminan Sosial (Linjamsos) Dinsos DIY, Sigit Alifianto menanggapi, penyelarasan data penerima PKH menjadi perhatian dalam upaya kelancaran pemberian bansos di 2021.

Ditanya terkait upaya pengawasan terhadap pendamping PKH, dirinya menjawab saat ini sudah ada tim komisi etik yang akan menindak pendamping PKH yang menggelapkan bansos.

"Ada tim komisi etik yang akan memproses, jika memang melakukan kesalahan akan ada sanksi, mulai dari peringatan sampai pemberhentian," tegasnya.

Sigit juga mengatakan dalam hal ini, Dinsos DIY maupun Dinsos Kabupaten/Kota berhak memberikan rekomendasi pencopotan bagi pendamping PKH kepada Kemensos.

"Kalau hal itu jelas, karena tim etik kan dari unsur pemerintah pusat dan daerah. Hanya saja yang memutuskan sanksi itu dari Kemensos," pungkasnya. (hda)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved