Kisah Survival Musisi Yogya, dari Panggung Megah Pindah ke Jalanan, Pernah Dibayar Pakai Kerupuk
Di tengah kepadatan kendaraan malam itu, nampak sekumpulan remaja begitu semangat meniup alat musik klasik terbuat dari logam.
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Lalu lintas di Jalan Jenderal Sudirman, Gondokusuman, Kota Yogyakarta, terlihat padat pada Rabu (18/11/2020) malam.
Di tengah kepadatan kendaraan malam itu, nampak sekumpulan remaja begitu semangat meniup alat musik klasik terbuat dari logam.
Alunan musik tersebut dapat dinikmati mulai pukul 16.00 hingga pukul 21.00.
Kecuali ketika cuaca buruk hingga turun hujan.
Mereka adalah Z Brass. Sebuah perkumpulan remaja yang jatuh cinta dengan instrumen musik berupa trombone, terumpet, hingga saxofone.
Baca juga: Cegah Penularan Covid-19 di Pengungsian, Relawan Diarahkan ke Posko Utama Pakem Sleman
Baca juga: PAD Kabupaten Kulon Progo dari Sektor Pariwisata Sudah Mencapai Target
Baca juga: Bupati Gunungkidul Lantik Dirut dan Dewan Pengawas PDAM Tirta Handayani
Jam terbang mereka cukup tinggi. Ada sekitar delapan anak yang tergabung di komunitas tersebut.
Namun, ketika ditemui Tribun Jogja pada Rabu (18/11/2020) malam, jumlah yang hadir hanya enam anak.
Mereka merupakan Yedija Putra (20), Satria Bima (20), Rawang Asman (20) Bagus Bagaskoro (19), Filipus Rio (20) dan Daniel Doni Chrisdiyanto (20).
Rata-rata para musisi jebolan salah satu sekolah musik tersebut sudah merasakan panggung megah.
Yedija Putra kini juga sedang menempuh studi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI) bersama Satria Bima, serta Daniel Doni Chrisdiyanto.
Sementara dua lainnya di sedang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) jurusan seni musik.
"Gak malu udah karena job sekarang sepi. Yen gak obah, ya gak iso tuku rokok ambek mangan (kalau tidak bergerak ya tidak bisa beli rokok sama makan)," kata Yedija memulai obrolan.
Aksi mereka memang menjadi perhatian para pengguna jalan, karena suara yang dihasilkan dari alat tiupnya itu cukup keras dan sekilas nyaris seperti sedang ada pertunjukan orchestra.
Lagu-lagu yang dimainkan mulai dari pop lawas berjudul "Semua Bisa Bilang" karya Charles Hutagalung, hingga irama kekinian yang diaransmen ulang.
Mereka memadukan alat musik tiup brass section dengan perkusi asal afrika Djembe.
Baca juga: Ini Enam Tuntutan Warga Ngampilan Yogyakarta yang Tolak Jalan Satu Arah di Letjen Suprapto
Baca juga: Pemkot Yogya Tampung Aspirasi Masyarakat Terdampak Malioboro Bebas Kendaraan
Baca juga: Menkes Terawan : Kampus Sehat Berperan Cegah Penyebaran Covid-19
Sebelum pandemi Covid-19 masuk ke DIY, penghasilan para remaja berbakat ini bisa mencapai Rp 1 hingga Rp 1,5 juta persekali perform.
Maklum saja, rata-rata para player section ini memang sudah merasakan panggung megah.
Dari event lokal hingga skala nasional.
"Ya kalau pas dulu itu sekali main bisa dapat Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta. Semenjak pandemi ini semua event gagal, jadi ya terpaksa turun ke jalan," imbuhnya.
Kerinduan akan panggung megah sempat dirasakan oleh mereka.
Proses latihan dan persiapan di balik panggung tidak lagi dijumpai sudah hampir delapan bulan semenjak adanya pandemi Covid-19.
Royalti yang diterima juga kini turun drastis.
Biasanya selama satu jam pertunjukan di panggung megah sebagai pemain orchestra, Yedija bisa menerima jutaan.
"Sekarang hanya Rp 80 ribu. Kadang ya dikasih makanan, kue, pizza, bahkan ada yang memberi kerupuk. Baru kemarin sekitar satu minggu yang lalu itu, ada orang ngasih kami kerupuk. Ya ndak apa-apa," tegas dia.
Dipertemukan Oleh Pandemi
Z Brass merupakan perkumpulan pecinta alat musik tiup klasik yang mucul berlatar belakang para musisi yang kehilangan jadwal manggung karena adanya pandemi Covid-19.
Sisa panggung terakhir di awal-awal pandemi turut dirasakan oleh Rawang Aswan.
Saat itu dirinya diminta untuk mengisi event wedding sebagai pengisi musik.
"Begitu acara sudah selesai, kami dipersilakan makan oleh WO nya. Tapi setelah lama kami tunggu orangnya malah tidak datang. Uang bayaran kami dibawa kabur oleh WO nya. Ya itu pas awal-awal ada Covid-19 kemarin," terang dia.
Lantaran memiliki kesulitan yang sama, kemudian mereka berinisiatif membentuk perkumpulan Z Brass, yang merujuk pada tempat di mana mereka mencari uang tambahan saat ini, yakni di simpang empat Jalan Jendral Sudirman (Samping Gramedia).
"Z Brass itu karena sekarang kami manggungnya di Zebra Cross. Jadi asal-usulnya dari itu," imbuhnya.
Baca juga: Warga Ngampilan Yogyakarta Minta Sistem Satu Arah di Jalan Letjen Suprapto Disetop
Baca juga: Bisakah Shalat Dhuha Siang Hari Jelang Dzuhur? Ini Penjelasannya
Baca juga: IHSG Diprediksi Melemah Hari Ini, Berikut Rekomendasi Saham 19 November 2020
Sejak masing-masing melanjutkan studinya di perguruan tinggi, komunikasi mereka hampir terputus karena sibuk dengan dunia baru di lingkungan kampus.
Namun demikian, ada hikmah di balik pandemi Covid-19 yang masuk ke DIY sejak Maret lalu.
Mereka kini kembali dipertemukan dalam kondisi yang mengharuskan mereka untuk prihatin, kondisi di mana jauh dari lampu sorot panggung dan gemuruh tepuk tangan penonton.
"Karena pandemi kami bisa berkumpul lagi. Mulai Juli kami ada di simpang empat ini untuk mengamen. Ya kami ada yang harus bayar kontrakan, untuk keperluan lainnya. Mau minta orang tua juga sudah tidak pantas lah," ujarnya.
Selama lima jam perform di simpang empat Jalan Jendral Sudirman tersebut, per anak bisa mendapat uang Rp 80 ribu.
"Itu paling maksimal. Kalau pas sepi ya kami tidak dapat apa-apa," tutupnya. (hda)