Bantul
Kasus Kekerasan Anak di Bantul Masih Tinggi
Unit Pelaksana Teknis Daerah, Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Bantul mencatat ada 115 kasus pada tahun 2019.
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Sejak diundangkan pada tanggal 25 Januari 2018, Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bantul nomor 3 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak telah diberlakukan.
Namun selama kurun waktu hampir tiga tahun, implementasi perda tersebut berjalan tidak efektif.
Terbukti, data kasus kekerasan terhadap anak di Bumi Projotamansari masih sangat tinggi.
Ketua Satuan Tugas, Perlindungan Perempuan dan Anak (Satgas PPA) Bantul, Muhamad Zainul Zain mengatakan, apabila Perda perlindungan anak diimplementasikan dengan baik, maka Bantul seharusnya sudah mendapatkan predikat Kabupaten Layak Anak (KLA).
Tetapi kenyataan, bukannya menurun justru kasus kekerasan anak terus mengalami peningkatan.
Baca juga: Perempuan dan Anak Masih Menjadi Obyek Kekerasan Rumah Tangga
Pihaknya mempertanyakan, apakah Perda hanya akan diarsipkan atau akan benar-benar diimplementasikan.
"Ini harus digarap bersama-sama oleh semua pihak. Dari mulai Pemerintah Kabupaten, DPRD, Pemerintah Kecamatan hingga Pemerintah desa dan masyarakat," ucap Zainul, seusai menghadiri sosialisasi Perda Bantul nomor 3 tahun 2020 tentang penyelenggaraan Perlindungan anak, Kamis (5/11/2020).
Sosialisasi dilangsungkan bersama dengan Komisi D di gedung DPRD Bantul. Turut hadir Kepala Dinas Sosial Perlindungan Perempuan dan Anak, Didik Warsito, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak, Silvy Kusumaningtyas, segenap Camat dan Lurah Se-kabupaten Bantul.
Zainul mengatakan, kasus kekerasan terhadap anak memiliki dampak dan risiko sangat besar.
Karena itu, pihaknya mendorong agar Perda tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak bisa memiliki produk turunan sampai di tingkat desa, menjadi Peraturan Desa (Perdes).
Baca juga: Solusi Kekerasan pada Anak, Pahamkan Orang Tua Terlebih Dahulu
Nantinya, Perdes tersebut bisa diimplementasikan dalam lingkup masing-masing desa dengan program dan pembiayaan menggunakan APBDes.
Menurutnya, selama ini sudah ada anggaran ditingkat desa yang diperuntukkan untuk anak.
Tetapi cenderung tidak ada detail berapa persen yang dianggarkan.
Misalnya, belum ada kepastian berapa anggaran untuk anak yang sedang berbenturan dengan hukum, berapa anggaran pencegahan agar tidak terjadi kekerasan, dan berapa anggaran untuk pegiat perlindungan Anak.
Semua itu menurutnya belum detail.