Cerita Mbah Ngatirah Ungkap Petaka Wabah Pes di Gunung Kidul : Pagi Sakit, Sore Mati

Masyarakat Jawa mengenal istilah 'pagebluk'. Ini arti atau padanan kata wabah atau petaka dahsyat yang menelan korban jiwa tak terkira.

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
Tribun Jogja/Setya Krisna Sumargo
Mbah Ngatirah, saksi hidup pagebluk pes di Gunungkidul 

Bencana kedua menurut Mbah Ngatirah disebut zaman gaber. “Ini wabah penyakit muncul karena pangan langka,” katanya menunjuk kejadian sekitar 1963.

“Banyak yang mati juga, karena HO, karena beri-beri, bisulen, dan kelaparan,” lanjutnya. Istilah gaber berasal dari nama ampas tepung tapioka atau bungkil ketela yang dikeringkan (gaplek).

Biasanya jadi pakan ternak. Saat krisis hebat di wilayah Gunungkidul itu, pemerintah AS mengirimkan bantuan pangan berupa bulgur.

Bulgur itu butiran jagung yang sudah dihancurkan. Biasanya di Amerika dijadikan pakan ternak, seperti halnya gaber.

Kisah zaman gaber di Gunungkidul pernah ditulis pada 2014 oleh Sahid Susanto, warga Wonosari. Saat peristiwa terjadi, umur Sahid 12 tahun.

Ia bekerja membantu orangtuanya yang berdagang gaplek dan gaber di belakang Pasar Argosari.

Sahid menulis kesaksiannya berjudul “Mengingat Jaman Gaber” di web Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM.

Menurut Sahid di web www.ceritafaktasumberdayaalamtropis.tp.ugm.ac.id, saat zaman gaber itu situasinya sangat menyentuh hati. Beras menjadi barang sangat langka dan susah didapat.

Banyak orang tidak bisa membeli beras karena kalau ada harganya sangat mahal. Orang-orang desa yang kekurangan pangan pergi ke Wonosari, ibukota Kabupaten Gunungkidul.

Banyak yang sudah tidak punya apa-apa lagi. Semua harta benda sudah dijual untuk menyambung hidup.

Hewan ternak, kandang ternak, pintu dan jendela rumah, genteng rumah, kayu-kayu penopang rumah, semua habis dijual hanya untuk makan.

“Saya melihat sendiri, setiap hari ada saja orang yang meninggal di pasar itu karena kurang gizi. Istilahnya waktu itu HO (hongerudim). Daging tubuh membesar tetapi kalau ditekan tidak kembali. Karena terlalu banyak minum saja,” tulis Sahid.

Saat itu, bagi yang mempunyai rejeki berlebih, setiap hari diminta urunan membuat bungkusan nasi thiwul dan lauknya.

“Keluarga saya termasuk beruntung. Usaha orang tua yang tadinya jualan pakaian, beralih jualan bahan pangan gaplek dan gaber. Saya ikut berjualan,” lanjutnya.

Bagi keluarga yang beruntung dan masih mempunyai anak-anak kecil, thiwul dan tempe mlanding jadi penolong asupan gizi.

Menurut Sahid Susanto, secara politik, zaman gaber atau kelangkaan pangan, bisa dikatakan implikasi kebijakan pemerintah Soekarno untuk “berdiri di kaki sendiri”.

Masa sulit ini perlahan berakhir, ketika penduduk Gunungkidul bisa menanam jewawut dan canthel sebagai pengganti padi. Tikus yang sebelumnya merajalela, mereda akibat kekurangan makanan juga.

Mbah Ngatirah yang almarhum suaminya pernah berdinas di ketentaraan, menyebut zaman pes jauh lebih mengerikan dampaknya ketimbang zaman gaber.

Banyak nama-nama di Dusun Ngringin yang disebutnya meninggal akibat pes, dan nyaris semuanya masih berkerabat dekat dan jauh dengan penulis. (Tribunjogja.com/xna)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved