Cerita Mbah Ngatirah Ungkap Petaka Wabah Pes di Gunung Kidul : Pagi Sakit, Sore Mati

Masyarakat Jawa mengenal istilah 'pagebluk'. Ini arti atau padanan kata wabah atau petaka dahsyat yang menelan korban jiwa tak terkira.

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
Tribun Jogja/Setya Krisna Sumargo
Mbah Ngatirah, saksi hidup pagebluk pes di Gunungkidul 

“Ada yang dikubur “pokcuk”. Itu katanya untuk syarat atau tumbal,” lanjut nenek yang anak, cucu, cicit, dan canggahnya sudah tersebar di berbagai kota.

“Pokcuk” ini istilah Jawa, artinya pok (pangkal) cuk (pucuk). Jadi dari penjelasan Mbah Ngatirah, ada dua orang meninggal dunia bersamaan, suami istri, penguburannya dilakukan tidak lazim.

Kedua jenazahnya dimakamkan di satu liang, tapi peletakan jasadnya berkebalikan. Kedua korban katanya dimakamkan di pekuburan umum Dusun Ngringin.

Mbah Ngatirah juga menceritakan kisah sekeluarga di Dusun Ngringin, yang nyaris tumpas disapu pes, yang disebarkan lewat tikus.

Seingatnya, ada lima orang dalam satu keluarga meninggal hampir bersamaan. Mereka terhitung masih berkerabat dengan Mbah Ngatirah.

Ia lalu menyebut sebagian nama-nama yang meninggal itu, serta yang lolos dari maut. Penulis juga masih berkerabat dengan nama-nama yang disebut Mbah Ngatirah itu.

Mbah Ngatirah saat itu berusia 24 tahun, sudah berkeluarga, dan memiliki anak. Berbagai cara mengatasi wabah dilakukan warga yang ketakutan.

Dari cara masuk akal hingga irasional. Penduduk waktu itu diminta berbekal atau mencuci diri menggunakan minyak sereh atau minyak stroli, sebutan warga dusun untuk minyak tanah.

Stroli dari pengucapan kata petroleum. “Ada yang ngubur asu (mengubur anjing) di perempatan dekatnya Mbah Rejo,” katanya.

Penulis tahu lokasi perempatan yang dimaksud. Letaknya tidak jauh dari pekuburan umum dusun. “Katanya buat tolak bala, mengusir wabah,” lanjut Mbah Ngatirah.

Wabah pes kala itu benar-benar menyiksa, sangat berat dihadapi penduduk yang belum lama lepas dari kolonialisme.

“Pes itu zaman pembaruan,” jelas Mbah Ngatirah. Maksudnya, terjadi ketika pemerintahan NKRI baru seumur jagung, setelah pasukan kolonial Belanda benar-benar meninggalkan Indonesia.

Agresi II Belanda berlangsung 1949, dan berakhir di Konferensi Meja Bundar (KMB) 2 November 1949. Perjanjian penyerahan RI efektif berlaku 27 Desember 1949.

“Banyak di dusun ini yang meninggal, hampir setiap hari ada pelayatan. Di makam juga orang sampai tidak pernah berhenti menggali kubur,” ungkap Mbah Ngatirah.

Pemerintah Indonesia belum punya kekuatan besar saat itu. Jadi pemberantasan wabah tidak sebanding dengan korban yang berjatuhan, hingga akhirnya wabah mereda seiring waktu.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved