Yogyakarta
Upah Minim DIY Belum Dianggap Belum Sesuai KHL
Saat ini untuk menentukan UMP, Pemerintah masih menggunakan PP 78/2015, yang mana dalam PP tersebut tidak sesuai dengan KHL.
Penulis: Siti Umaiyah | Editor: Gaya Lufityanti
Menurutnya, upah berhubungan lurus dengan tingkat kemiskinan di DIY, ketika DIY masih menggunakan PP 78/2015, maka angka kemiskinan akan selalu tinggi.
"Kalau menggunakan PP 78, intinya akan mengabadikan tingkat kemiskinan di DIY. Harus ada sebuah terobosan agar angka kemiskinan bisa diturunkan. Pemerintah mengklaim Serikat Buruh/Pekerja masih memiliki hak untuk berunding tentang kenaikan upah, namun dalam prakteknya justru direduksi, dan dikebiri paska terbitnya PP 78/2015," terangnya.
Irsyad menyebutkan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY hendaknya melakukan pengawasan yang lebih ketat dalam penerapan struktur dan skala upah.
Selain itu, mengingat keterbatasan tenaga pengawas, hendaknya Disnakertrans DIY menginisiasi pengawasan bersama dan membentuk unit kerja pengawasan dan perlindungan kerja yang melibatkan seluruh serikat pekerja/buruh.
Arianto Wibowo, Kepala Bidang (Kabid) Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) DIY, yang juga hadir dalam audiensi di DPRD menerangkan, dalam waktu dekat Dewan Pengupahan akan melakukan pembahasan mengenai UMP 2020, yang mana pada 1 November 2019 UMP tersebut sudah harus ditetapkan.
Akan tetapi, Bowo menjelaskan, jika jumlah UMP 2020 mendatang berkisar 8,51%, dimana pihaknya juga akan mengikuti angka penetapan secara nasional, sesuai dengan PP 78/2015.
• UMP dan UMK DIY Masih Terus Dibahas, Formula Penghitungan Tetap Mengacu PP 78/2015
Untuk detailnya, pihaknya masih akan mengunggu surat edaran dari pusat mengenai inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB) yang nantinya digunakan untuk penghitungan.
"Kita masih menunggu surat edaran dari Kementerian, mengenai inflasi dan PDB yang dipakai, baru kita akan melakukan penghitungan melalui Dewan Pengupahan Daerah. Lalu ketika ada angka kita sampaikan ke Gubernur, dan akan dilakukan penetapan," terangnya.
Menurutnya, untuk pengupahan sendiri pihaknya tidak bisa merubah apa yang ada dalam PP 78/2015. Akan tetapi, Bowo menjelaskan jika masih ada peluang untuk bisa menaikan UMP tahun 2021 di DIY yang sesuai dengan KHL yang ada, dimana pada 2020 akan ada survei KHL, yang nantinya survei tersebut akan digunakan untuk menetapkan UMP pada 2021 mendatang.
"Ada peluang di 2020 yang akan dipakai untuk UMP 2021, mending disana saja mengajukan KHL. Kebutuhan seperti apa nanti diajukan. Kita selama ini menggunakan KHL 2015. Kalau KHL 2015 ada penghitungan yang kurang pas atau seperti apa, di 2021 kita perbaiki. Survei KHL-nya setiap 5 tahun sekali," katanya.
"Komponen survei KHL sekarang 60, dan informasi yang saya dapat jumlahnya akan naik sekitar 70 atau 80. Jadi logikanya akan naik nilanya. Kalau sekarang memakai UMP yang sudah berjalan, dikalikan inflasi nasional sama PDB nasional. Ada rumusnya," tambahnya.
• Tentukan Kenaikan UMK, Disnakertrans Gunungkidul Masih Tunggu Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Arif Hartono, Perwakilan Tim Dewan Pengupahan Daerah dari Akademisi yang juga Dosen di Fakultas Ekonomi UII mengungkapkan, selama ini dalam melakukan penetapan UMP, Dewan Pengupahan menggunakan PP 78/2015.
Menurutnya, ketika Dewan Pengupahan dalam penetapan UMP tidak menggunakan PP tersebut, maka akan keliru karena tidak sesuai dengan peraturan yang ada.
"Soal PP 78/2015 sudah pernah diajukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, saya jadi saksi. Tuntutannya kenapa Gubernur menerapkan PP itu, jawaban saya tegas, Gubernur salah kalau tidak menerapkan itu, karena itu berlaku di seluruh Indonesia. Kalau Jogja tidak melakukan PP 78 justru keliru. Hasil putusan PTUN Yogyakarta gugatan itu tidak bisa diterima," katanya.
Menurutnya, untuk bisa memperbaiki hal ini harus sistematis, tidak bisa sporadis di Yogyakarta saja, yang mana regulasi di Pemerintah tidak sesimpel itu.
"Untuk bisa memperbaiki, mari bikin naskah akademik dari Jogja. Ini waktunya pas, karena tahun 2020, itu akan keluar (KHL) baru, apa kebutuhan yang baru. Kita berikan dengan alasan-alasan yang naskahnya akademik," katanya. (TRIBUNJOGJA.COM)