Terkikisnya Bahasa Jawa
Eksistensi Bahasa Jawa Semakin Terpinggirkan
Banyak siswa saat ini tak memahami penggunaannya. Sebab utamanya adalah, tutur yang digunakan di rumah didominasi bahasa Indonesia
Pernah suatu kali saat ujian dia mendapatkan nilai 30. Padahal orangtua Ikhsan dan Akhsan warga asli Yogyakarta.
“Ikhsan dapat (nilai) 30, sedangkan Akhsan paling pernah dapat 40 saat ujian. Lebih sulit dari matematika pokoknya,” ungkap Akhsan sambil memandang saudaranya, Ikhsan.
Baca: Mampukah Danais Rp1 T Menyelamatkan Bahasa Jawa?
Satu tingkat di atas ketiga bocah itu, Hanomi Raidiana Saputri adalah siswi kelas 7 SMPN 4 Depok.
Kendala yang dialami sama, dia tak paham bahasa Jawa. Selama enam tahun di belajar di SD dan di keluarganya, bahasa Indonesia adalah pengantar utama untuk berkomunikasi.
“Baru (di) SMP ini teman-teman pakai (berkomunikasi pakai) bahasa Jawa, itu juga Jawa ngoko. Kalau kawa kromo malah lebih sulit lagi,” ungkapnya, seraya tersenyum.
Callixta Videlia Cahya Ningrum, kakak kelas Hanomi, menjalani pengalaman yang lebih kurang sama.
Di rumah dia terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk berkomunikasi.
Padahal, sang ibu warga asli Magelang.
Ya, orang Jawa tulen.
“Kalau bahasa ngoko sedikit sedikit bisa, tapi kalau kromo kesulitan. Biasanya, sih, googling atau lihat kamus bahasa Jawa,” ucap Callixta.
Pola penggunaan bahasa Indonesia kepada anak-anak di lingkungan rumah adalah pemicu utama terpinggirkannya bahasa Jawa.
Padahal, kedua orangtua anak tersebut adalah orang Jawa, yang menggunakan bahasa tutur dengan pasangan juga dengan bahasa Jawa.
Baca: Penelusuran Suara Google Hadir Dalam Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda
Maria Aditya, adalah satu di antaranya. Dia mengakui menggunakan bahasa Indonesia untuk komunikasi dengan anaknya yang baru berumur 2,5 tahun.
Menurutnya, bahasa Indonesia lebih mudah digunakan.
Meskipun asli Jawa, ia mengaku tidak fasih berbahasa Jawa, terutama krama inggil.
Ia menilai bahasa Indonesia lebih berguna suatu saat nanti ketika anaknya memasuki bangku sekolah.
"Ya, besok kan kalau sekolah lebih mudah. Lagipula bahasa Indonesia bahasa nasional, jadi dia bisa berkomunikasi dengan siapa saja," ujar dia.
Pertahankan identitas
"Buk, kae lo digoleki," teriak anak itu memanggil ibunya, sembari tiduran memainkan telepon seluler di tangan.
Ia adalah Adestian Awang, siswa kelas 5 SD Tridadi, Sleman.
Sehari-hari dia berbicara menggunakan bahasa Jawa ngoko.
"Penak basa Jawa ngoko. Nek basa krama ra iso," kata anak 11 tahun itu polos kepada Tribun Jogja, kemarin.
Haryati (37), ibunya, mengatakan, sejak kecil sang anak memang berbicara dengan bahasa Jawa ngoko. Meski demikian, ia juga tetap mengajarkan tata krama pun unggah-ungguh Jawa.
"Kalau anak-anak susah diajari krama inggil. Paling, ya cuma nggih, matur nuwun, atau sampun kalau pamit," jelas Haryati.
Baca: Lagu Akad Dibikin Versi Bahasa Jawa, Tonton Videonya!
Mempertahankan identitas juga nilai-nilai sebagai orang Jawa adalah satu alasan mengapa bahasa Jawa dipertahankan terus digunakan keluarga Redy Swandono.
Tak hanya bahasa Jawa ngoko, tapi juga krama inggil.
“Masa di rumah pakai bahasa Indonesia. Anak biar tahu, asal mula keluarganya itu dari Jawa. Di sekolah kan hampir pasti pakai bahasa Indonesia, kapan anakku paham bahasa Jawa kalau tidak di rumah,” ujar Redy, yang anaknya sejak umur dua tahun bersekolah di pendidikan anak usia dini (PAUD) ini.
Meski begitu, dia mengaku cukup kewalahan memberikan pemahaman bahasa Jawa kepada anaknya.
Satu sebabnya adalah lingkungan di sekitarnya banyak anak yang menggunakan bahasa Indonesia untuk bertutur sehari-hari.
Itu semua berasal dari keluarga masing-masing, kemudian dibawa ke pola komunikasi dengan teman-teman di luar rumah.
“Pergeseran itu sudah nyata, bagaimana banyak orang Jawa yang berbicara pakai bahasa Indonesia. Tapi, gimana juga aku harus mengajarkan bahasa Jawa. Seperti aku dulu diajari ngomong pakai bahasa Jawa krama ke orang-orang tua oleh bapak ibu,” ujar mantan mahasiswa UGM ini.(TRIBUNJOGJA.COM)