Terkikisnya Bahasa Jawa
Eksistensi Bahasa Jawa Semakin Terpinggirkan
Banyak siswa saat ini tak memahami penggunaannya. Sebab utamanya adalah, tutur yang digunakan di rumah didominasi bahasa Indonesia
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Mengajarkan bahasa Jawa di sekolah bukanlah hal sederhana.
Banyak siswa saat ini tak memahami penggunaannya.
Sebab utamanya adalah, tutur yang digunakan di rumah didominasi bahasa Indonesia, padahal orangtua adalah warga Jawa.
Seperti itulah yang dirasakan beberapa guru yang ditemui Tribun Jogja.
Mau tak mau harus diakui, eksistensi bahasa Jawa akan terkikis melihat fenomena semakin terpinggirkannya bahasa Jawa.
Hartoyo, guru di SMPN 4 Depok, Sleman, contohnya.
Bahasa Jawa adalah mata pelajaran (mapel) yang diampunya.
Saat mengajar di depan kelas, dia harus menyisipkan bahasa Indonesia agar ilmu yang disampaikan dipahami para murid.
Baca: Fungsi Bahasa Jawa Tidak akan Dapat Digantikan Bahasa Indonesia maupun Asing
“Kalau saya menggunakan bahasa Jawa saja, murid-murid juga banyak yang tidak mengerti. Untuk memudahkan pemahaman, saya juga menggunakan bahasa Indonesia agar membantu anak paham dengan apa yang saya ajarkan,” tuturnya.
Hartoyo mengajar sejak tahun 1983.
Pernah suatu kali mapel bahasa Jawa hanya diajarkan satu jam dalam seminggu.
Hal itu menggundang protes bagi kalangan guru-guru, sehingga dikembalikan lagi menjadi dua jam dalam semingggu.
Guru lainnya, Sulistianto pernah mengalami pengalaman yang lebih pedih.
Pengajar kelas 4 di SD Babarsari suatu kali pernah mendengar argumen muridnya.
“Pak, bahasa Jawa kan enggak digunakan saat ngelamar kerja, sekarang yang dibutuhkan bahasa Inggris.” Begitu muridnya mengkritisi, yang juga bermaksud menggambarkan bagaimana mapel ini dianggap tak penting.
Baca: Orangtua Diharapkan Terus Membiasakan Anak-anaknya Berbahasa Jawa di Rumah
Diakui, mapel bahasa Jawa kini yang membuat Sulistianto kesulitan mengampu siswa-siswinya.
Rata-rata teman sejawatnya merasakan serupa, kepayahan mengajarkan bahasa Jawa kepada peserta didik.
Kebiasaan di lingkungan rumah membuat anak-anak tidak menguasai bahkan tidak mengerti saat diajak berbicara bahasa Jawa.
“Ini bukan hanya fenomena di kota saja, lo. Di desa, bahkan nenek-nenek ketika ngobrol dengan cucunya juga menggunakan bahasa Indonesia. Kebiasaan inilah yang kemudian lama-kelamaan mengikis perbendaharaan bahasa Jawa,” kata Sulistianto.
Waktu memberikan ilmu bahasa Jawa yang minim, membuatnya tak bisa berbuat banyak.
Ketika saat memberikan materi mapel di kelas, sekuat tenaga dia memberikan pemahaman yang komplet.
Namun, ketika para siswa kembali di rumah, sedangkan di lingkungan keluarganya menggunakan bahasa Indonesia untuk sehari-hari, jelas sudah, waktu Sulistianto sudah kalah intensif.
Alhasil, perbendaharaan kata-kata bahasa Jawa pun menguap.
Baca: Eksistensi Bahasa Jawa Kian Mengkhawatirkan dan Bisa Terancam Punah
“Kami di sini hanya memberikan contoh saat berada di lingkungan sekolah. Anak, kan, lebih intens waktunya saat di rumah. Biasanya saat sehari-hari pasti kembali ke (menggunakan) bahasa Indonesia,” ungkapnya, lalu menghela napas.
Menggunakan dwi bahasa (Jawa dan Indonesia) saat mengajar mapel bahasa Jawa di kelas menjadi pilihan terbaik, ketika murid-murid tak paham materi mapel itu.
Almast Izati Zulfah pun mempraktikkan cara-cara ini.
Guru kelas 3 SDIT Salsabila Al-Muthi’in, Banguntapan, ini mengatakan, untuk menyampaikan intisari ilmu mapel bahasa Jawa, harus dibarengi dengan pengantar menggunakan bahasa Indonesia.
Sebabnya, beberapa muridnya lebih intensif menggunakan bahasa nasional untuk percakapan sehari-hari, baik di rumah dengan keluarga atau dengan temannya di sekolah, mau pun percakapan nonformal di lingkup sosial lainnya.
Apalagi, dalam sepekan mapel bahasa Jawa hanya diajarkan selama 70 menit.
Waktu yang minim. Kondisi ini membuatnya kesulitan memberikan pemahaman perbendaharaan bahasa Jawa ke siswa-siswinya.
Belum dengan bahasa Jawa memiliki tingkatan yang membutuhkan pemahaman lebih dalam. Yakni bahasa ngoko, kromo, kromo hinggil, dan lainnya.
Lebih Mudah Belajar Matematika
Dengan nafas terengah-engah seusai mengikuti mapel olahraga, Missaella Milan Angelika memulai perbincangannya dengan Tribun Jogja, saat ditemui di sekolahnya, SD Babarsari, kemarin.
Masih menggenggam tali untuk skipping dia bercerita bagaimana sulitnya memahami mapel bahasa Jawa. Bahkan pernah suatu kali dia mendapat nilai 30 untuk ujian mapel bahasa Jawa.
Baca: Dianggap Kurang Gaul, Eksistensi Bahasa Jawa Terancam
Meski sang ayah berasal dari Solo, percakapan sehari-harinya di rumah adalah menggunakan bahasa Indonesia.
“Bahasa Jawa itu paling sulit, lebih sulit dari matematika dan bahasa Inggris,” tutur siswi kelas lima ini sembari mengelap keringat di kening.
Bahkan, pilihan bahasa tutur kedua di keluarga bocah berambut sebahu ini adalah bahasa Inggris.
Bahasa Jawa? Jangan harap digunakan sebagai alat tutur.
Tak paham dengan materi atau kosa kata bahasa Jawa, mesin pencari internet adalah solusinya.
“Kalau papa ngobrol sama teman-temannya pakai bahasa Jawa, tapi kalau sama aku enggak. Nenekku di Solo juga biasanya pakai bahasa Indonesia saat komunikasi sama aku,” ungkap anak berkulit putih tersebut.
Apa yang dialami Missaella tidak berbeda jauh dengan Ikhsan Uddin Amjat serta Akhsan Uddin Amjat, bocah kembar yang baru duduk di tahun pertama SD Babarsari.
Pernah suatu kali saat ujian dia mendapatkan nilai 30. Padahal orangtua Ikhsan dan Akhsan warga asli Yogyakarta.
“Ikhsan dapat (nilai) 30, sedangkan Akhsan paling pernah dapat 40 saat ujian. Lebih sulit dari matematika pokoknya,” ungkap Akhsan sambil memandang saudaranya, Ikhsan.
Baca: Mampukah Danais Rp1 T Menyelamatkan Bahasa Jawa?
Satu tingkat di atas ketiga bocah itu, Hanomi Raidiana Saputri adalah siswi kelas 7 SMPN 4 Depok.
Kendala yang dialami sama, dia tak paham bahasa Jawa. Selama enam tahun di belajar di SD dan di keluarganya, bahasa Indonesia adalah pengantar utama untuk berkomunikasi.
“Baru (di) SMP ini teman-teman pakai (berkomunikasi pakai) bahasa Jawa, itu juga Jawa ngoko. Kalau kawa kromo malah lebih sulit lagi,” ungkapnya, seraya tersenyum.
Callixta Videlia Cahya Ningrum, kakak kelas Hanomi, menjalani pengalaman yang lebih kurang sama.
Di rumah dia terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris untuk berkomunikasi.
Padahal, sang ibu warga asli Magelang.
Ya, orang Jawa tulen.
“Kalau bahasa ngoko sedikit sedikit bisa, tapi kalau kromo kesulitan. Biasanya, sih, googling atau lihat kamus bahasa Jawa,” ucap Callixta.
Pola penggunaan bahasa Indonesia kepada anak-anak di lingkungan rumah adalah pemicu utama terpinggirkannya bahasa Jawa.
Padahal, kedua orangtua anak tersebut adalah orang Jawa, yang menggunakan bahasa tutur dengan pasangan juga dengan bahasa Jawa.
Baca: Penelusuran Suara Google Hadir Dalam Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda
Maria Aditya, adalah satu di antaranya. Dia mengakui menggunakan bahasa Indonesia untuk komunikasi dengan anaknya yang baru berumur 2,5 tahun.
Menurutnya, bahasa Indonesia lebih mudah digunakan.
Meskipun asli Jawa, ia mengaku tidak fasih berbahasa Jawa, terutama krama inggil.
Ia menilai bahasa Indonesia lebih berguna suatu saat nanti ketika anaknya memasuki bangku sekolah.
"Ya, besok kan kalau sekolah lebih mudah. Lagipula bahasa Indonesia bahasa nasional, jadi dia bisa berkomunikasi dengan siapa saja," ujar dia.
Pertahankan identitas
"Buk, kae lo digoleki," teriak anak itu memanggil ibunya, sembari tiduran memainkan telepon seluler di tangan.
Ia adalah Adestian Awang, siswa kelas 5 SD Tridadi, Sleman.
Sehari-hari dia berbicara menggunakan bahasa Jawa ngoko.
"Penak basa Jawa ngoko. Nek basa krama ra iso," kata anak 11 tahun itu polos kepada Tribun Jogja, kemarin.
Haryati (37), ibunya, mengatakan, sejak kecil sang anak memang berbicara dengan bahasa Jawa ngoko. Meski demikian, ia juga tetap mengajarkan tata krama pun unggah-ungguh Jawa.
"Kalau anak-anak susah diajari krama inggil. Paling, ya cuma nggih, matur nuwun, atau sampun kalau pamit," jelas Haryati.
Baca: Lagu Akad Dibikin Versi Bahasa Jawa, Tonton Videonya!
Mempertahankan identitas juga nilai-nilai sebagai orang Jawa adalah satu alasan mengapa bahasa Jawa dipertahankan terus digunakan keluarga Redy Swandono.
Tak hanya bahasa Jawa ngoko, tapi juga krama inggil.
“Masa di rumah pakai bahasa Indonesia. Anak biar tahu, asal mula keluarganya itu dari Jawa. Di sekolah kan hampir pasti pakai bahasa Indonesia, kapan anakku paham bahasa Jawa kalau tidak di rumah,” ujar Redy, yang anaknya sejak umur dua tahun bersekolah di pendidikan anak usia dini (PAUD) ini.
Meski begitu, dia mengaku cukup kewalahan memberikan pemahaman bahasa Jawa kepada anaknya.
Satu sebabnya adalah lingkungan di sekitarnya banyak anak yang menggunakan bahasa Indonesia untuk bertutur sehari-hari.
Itu semua berasal dari keluarga masing-masing, kemudian dibawa ke pola komunikasi dengan teman-teman di luar rumah.
“Pergeseran itu sudah nyata, bagaimana banyak orang Jawa yang berbicara pakai bahasa Indonesia. Tapi, gimana juga aku harus mengajarkan bahasa Jawa. Seperti aku dulu diajari ngomong pakai bahasa Jawa krama ke orang-orang tua oleh bapak ibu,” ujar mantan mahasiswa UGM ini.(TRIBUNJOGJA.COM)