KOLOM 52
Toleransi Kian 'Terkoyak', Ada Apa dengan Jogja?
Polisi berjanji akan mengusut semua secara tuntas. Pengamat bilang ini ancaman bagi toleransi.
Belum terhitung jumlah kendaraan yang memadati kota hingga melahirkan kemacetan di sana sini.
Tata kota yang dibebani oleh ambisi wisata ini telah membuat ruang publik kian sempit.
Sukar untuk mencari tempat publik dimana warga bisa saling bertemu, menyapa dan melakukan interaksi sosial dengan hangat.
Jika pun kita ingin menikmati suasana yang nyaman harus menjauh dari kota: menuju Gunungkidul, Bantul atau kawasan Gunung Merapi.
Disana tersedia banyak tempat wisata yang berbayar. Tentu keadaan ini tak ideal karena semua tempat tiba-tiba berbau komersial.
Mudah dimengerti kalau kemudian kesenjangan sosial jadi masalah utama yang membayangi Jogja.
Kondisi yang didasarkan atas situasi dan beban kota yang berat terutama dalam menampung populasi banyak mahasiswa yang bukan hanya butuh suasana belajar tapi juga iklim yang nyaman.
Kenyamanan itu sulit diperoleh bukan karena beban pembangunan saja tapi biaya hidup yang merangkak.
Biaya hidup untuk kos hingga kebutuhan sehari-hari terus melejit. Belum lagi biaya kuliah yang terus naik.
Timbunan soal itulah yang membuat pilihan untuk hidup dengan berhemat ditempuh, diantaranya tinggal di asrama atau tempat ibadah yang bisa ringan semua.
Bukan hanya itu juga dengan terlibat dalam komunitas maupun ormas yang membuat beban jadi mudah disangga.
Setidaknya relasi sosial semacam itu memberi banyak proteksi: jaringan, relasi hingga pekerjaan.
Secara berangsur-angsur pola hubungan yang terbentuk kian meyempit: orang bergaul, bergabung dan terlibat dengan yang punya keyakinan serupa.
Membantu, menolong dan empati pada mereka yang punya agama sama. Pupuk atas itu semua disediakan oleh cara pandang yang sempit dan curiga.
Mulai curiga atas perubahan sosial yang tak selalu menguntungkan kelompoknya, timbul dugaan pada tindakan kelompok tertentu akan melunturkan keyakinanya.