MBG Belum Lepas dari Persoalan, Mekanisme Distribusi Dinilai Bermasalah

Persoalan besar justru muncul pada pelaksanaan di lapangan. Agus menegaskan, kelemahan utama MBG terletak pada mekanisme distribusi.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
KOMPAS.com/Egadia Birru
KASUS KERACUNAN MASSAL : Ilustrasi menu makan bergizi gratis. 

TRIBUNJOGJA.COM - Sejak diluncurkan sepuluh bulan lalu, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) belum lepas dari persoalan. Rantai distribusi yang panjang membuat kualitas makanan menurun, bahkan berujung keracunan massal di beberapa sekolah. Alih-alih meningkatkan kualitas gizi anak, program ini justru menelan korban jiwa karena makanan yang disajikan sudah basi.

Guru Besar Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. R. Agus Sartono, M.B.A., menilai ide MBG sejatinya baik. Jika merujuk pada pengalaman negara maju, program ini memiliki sejumlah manfaat penting bagi anak dan masyarakat luas.

“Program ini sesungguhnya memberikan banyak manfaat. Pertama, setidaknya bertujuan memperbaiki gizi anak di usia pertumbuhan melalui asupan yang cukup. Kedua, membangun kohesi sosial karena anak mendapatkan makanan yang sama, dan harapannya akan tumbuh empati serta kepedulian sosial. Ketiga, melalui program ini memberi pelajaran anak berperilaku tertib saat mengantri mengambil makanan dan membersihkan makanan. Keempat, anak tumbuh sikap bertanggung jawab untuk mengambil secukupnya dan tidak membuang-buang makanan. Kelima, memberikan multiplier effect pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kesenjangan. Keenam, terciptanya lapangan kerja serta mencegah urbanisasi,” kata Agus, Jumat (3/10).

Meski demikian, persoalan besar justru muncul pada pelaksanaan di lapangan. Agus menegaskan, kelemahan utama MBG terletak pada mekanisme distribusi yang terlalu panjang. 

“Tantangannya di implementasi. Persoalan muncul bukan pada ide besar, tetapi pada delivery mechanism sehingga belakangan ini muncul pandangan negatif dan berbagai kasus keracunan,” ujarnya.

Agus mengingatkan, sasaran program MBG tidak kecil. Sedikitnya 28,2 juta siswa SD/MI, 13,4 juta siswa SMP/MTs, 12,2 juta siswa SMA/SMK/MA, dan 2,3 juta siswa pendidikan khusus serta kesetaraan harus dilayani. Jumlah itu belum termasuk lebih dari 20.000 pesantren. 

“Dengan anggaran 15 ribu rupiah per siswa, maka setidaknya dibutuhkan dana sebesar 247,95 triliun rupiah,” katanya.

Besarnya anggaran ini, menurut Agus, bahkan melampaui dana desa tahun 2025 yang sekitar Rp 71 triliun. Jika ditambahkan dengan transfer anggaran pendidikan ke daerah sebesar Rp 347 triliun, maka total dana yang berputar di daerah mencapai Rp 665,95 triliun. 

“Jumlah yang sangat besar tentunya, dan diharapkan akan mendongkrak konsumsi serta menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi. Namun kembali ke pertanyaan awal, riuhnya program MBG persoalan muncul pada delivery mechanism,” paparnya.

Agus menilai, Indonesia sebenarnya sudah memiliki berbagai program yang menyasar siswa dan keluarga kurang mampu, mulai dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH), hingga bantuan sosial. 

“Pertanyaannya, kenapa MBG yang tujuannya sangat bagus tidak dilakukan menggunakan mekanisme yang sudah ada? Bukankah UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur bahwa pendidikan merupakan urusan konkuren dan daerah diberi kewenangan?” ucapnya.

Ia berpandangan, pemerintah daerah semestinya diberi kewenangan penuh untuk mengelola program ini sesuai amanat undang-undang, sementara Badan Gizi Nasional cukup berfungsi sebagai pemantau. 

“Dengan cara dan pemberdayaan Pemerintahan Daerah, tingkat keberhasilan akan jauh lebih baik,” katanya.

Agus mencontohkan praktik baik di sejumlah negara maju, di mana program makan bergizi dikelola melalui kantin sekolah. Dengan pola ini, makanan disajikan segar dan risiko basi bisa dihindari. 

“Sekolah bersama komite sekolah saya kira mampu mengelola ini dengan baik,” urainya.

Selain itu, kebutuhan bahan baku bisa dipenuhi dari UMKM di sekitar sekolah sehingga perputaran ekonomi lebih sehat. Dengan demikian, dana Rp 15.000 per porsi dapat diterima utuh oleh sekolah, bukan menyusut menjadi Rp 7.000 seperti kondisi saat ini. Alternatif lain, dana bisa diberikan langsung kepada siswa untuk dikelola bersama orang tua.

“Jika sampai satu bulan anak tidak membawa bekal bisa dipanggil orang tuanya, dan jika masih terus bisa dihentikan. Cara seperti ini saya kira tidak saja menanggulangi praktik pemburu rente, tetapi juga dipercaya akan lebih efektif,” tuturnya.

Agus menilai, panjangnya rantai distribusi MBG saat ini justru menguntungkan pengusaha besar yang mampu masuk ke dalam skema program. 

“Program Makan Bergizi Gratis pun bisa menjadi ‘Makar Bergiri Gratis’ bagi pengusaha besar karena mereka mendapat keuntungan yang besar secara gratis,” ujarnya.

Dengan asumsi margin Rp 2.000 per porsi, katanya, satu penyedia dengan 3.000 porsi bisa mengantongi Rp 150 juta per bulan atau Rp 1,8 miliar per tahun. Secara nasional, margin tersebut bisa mencapai Rp 33,3 triliun per tahun.

“Saya kira masih belum terlambat. Ajakan saya mari kita perpendek rantai distribusi MBG agar lebih efektif dan hilangkan cara-cara kotor memburu rente. Jadikan MBG benar-benar sebagai Makan Bergizi Gratis bagi siswa,” pungkas Agus.

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved