Keracunan MBG, Pakar Pangan Ingatkan Bahaya Laten Bakteri Patogen yang Sulit Terdeteksi
Potensi bahaya seringkali tersembunyi. Bakteri patogen yang menyebabkan sakit bisa saja hadir meski makanan tampak normal.
Penulis: Hanif Suryo | Editor: Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM- Kekhawatiran orangtua semakin besar seiring bertambahnya siswa yang keracunan makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG). Di balik menu yang tampak normal, pakar pangan Universitas Gadjah Mada (UGM) mengingatkan adanya bahaya bakteri patogen yang sulit dideteksi secara kasat mata.
Meski Presiden Prabowo Subianto menyatakan angka keracunan akibat MBG hanya sebesar 0,00017 persen, ancaman pangan tidak aman tetap nyata. Evaluasi menyeluruh, mulai dari pengadaan bahan mentah hingga distribusi makanan, dinilai perlu dilakukan segera.
Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Prof. Sri Raharjo, menegaskan bahwa tanggung jawab mengenali makanan layak konsumsi tidak bisa dibebankan kepada siswa. Sebab, kemampuan siswa terbatas pada pengamatan visual, penciuman, dan tekstur makanan.
“Padahal persoalan pangan yang tidak aman itu tidak selalu dibersamai dengan tanda-tanda katakan pembusukan gitu ya,” ujarnya, Jumat (3/10).
Menurut Sri Raharjo, indera penciuman manusia hanya dapat berfungsi sebagai proteksi awal. Namun, potensi bahaya seringkali tersembunyi. Bakteri patogen yang menyebabkan sakit bisa saja hadir meski makanan tampak normal.
“Karena ada bakteri yang sifatnya merusak, membusukkan makanan, dia tidak menyebabkan sakit dan dia berarti mudah dimatikan dengan panas. Sedangkan untuk bakteri yang menyebabkan sakit yang disebutkan bakteri patogen itu mungkin jumlahnya tidak perlu banyak, tapi sudah bisa menimbulkan sakit,” jelasnya.
Ia menambahkan, keberadaan bakteri patogen dalam makanan tidak selalu disertai aroma atau rasa yang aneh. Kondisi itulah yang membuat siswa tetap mengonsumsi makanan tanpa ragu.
“Nah, ketika siswa dihadapan dengan masakan yang normal-normal saja, kelihatannya normal, maka kan tidak ada masalah untuk terus berlanjut mengkonsumsi dan itu bukan hanya satu atau dua orang siswa, banyak sekali,” terangnya.
Gejala keracunan, lanjutnya, juga tidak seragam. Tidak semua siswa langsung muntah setelah makan. Reaksi bisa muncul belakangan dengan bentuk berbeda-beda.
Untuk mengantisipasi kasus serupa, Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM itu menekankan perlunya perhatian ketat pada proses pengolahan, pengemasan, hingga distribusi makanan. Penelusuran juga perlu dilakukan terhadap setiap komponen dalam tray makanan.
“Dalam satu tray makanan yang macam-macam itu, kira-kira yang berkontribusi pada keracunan tadi itu di mana? Nasi, lauk, atau sayurnya kah? Gitu kan? Dan nanti juga diperiksa dalam proses penyiapannya,” ucapnya.
Sri Raharjo menyebut lauk sebagai komponen yang paling berisiko. Pengolahannya membutuhkan pemanasan dan waktu cukup untuk memastikan bakteri mati. Namun, keterbatasan waktu, peralatan, dan tenaga di dapur penyedia MBG kerap menjadi kendala.
“Terpenting, pada pengadaan bahan mentahnya, bahan segarnya entah itu daging, ikan, atau sayurannya itu, usahakan memang kondisinya bersih, cemarannya dan belum tinggi,” katanya.
Ia juga mengingatkan soal kapasitas dapur umum yang kerap tidak sebanding dengan target produksi. Pemerintah menargetkan setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) mampu menyediakan sekitar 3.000 paket MBG per hari. Namun, menurut Sri Raharjo, kapasitas itu melampaui kemampuan dapur umum dan mengakibatkan kontrol mutu makanan tidak berjalan optimal.
Hasil Lab Ungkap Penyebab Keracunan MBG di Semin: Ada Bakteri Berbahaya di Menu Oseng, Ayam, Buah |
![]() |
---|
Diduga Keracunan MBG, Siswa di Gunungkidul Keluhkan Susu Berbau Aneh Lalu Muntah: 6 Dilarikan ke RS |
![]() |
---|
Komisi D DPRD DIY Sebut Pengawasan dan Rantai Pasok Bahan MBG Perlu Dievaluasi |
![]() |
---|
Lonjakan Kasus Keracunan Massal MBG, PKT UGM Desak Evaluasi dan Pengawasan Ketat |
![]() |
---|
PSEL DIY Ditargetkan Beroperasi 2027, Pakar Ingatkan Pentingnya Perubahan Perilaku Masyarakat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.